Momen lebaran dan perayaan Idul Fitri menjadi penanda berakhirnya bulan Ramadan yang identik dengan berbagai tradisi, seperti saling memaafkan, bersilaturahmi, atau hidangan-hidangan khas Lebaran.
Salah satu hidangan yang tidak terpisahkan dalam momen Idul Fitri di Indonesia adalah ketupat. Sebenarnya, ketupat bukan sekadar hidangan pelengkap. Makanan ini sarat dengan simbolisme yang berakar dalam nilai-nilai dan kearifan lokal masyarakat Indonesia, khususnya suku Jawa dan Sunda. Secara fisik, ketupat terdiri dari beras yang dibungkus dengan anyaman daun kelapa muda berbentuk wajik.
Beras yang menjadi komponen hidangan ini, melambangkan nafsu duniawi yang melekat pada manusia. Sementara pembungkus ketupat yang terbuat dari daun kelapa muda, merepresentasikan cahaya kebenaran yang bersemayam dalam hati nurani manusia. Perpaduan kedua elemen ini mengandung pesan moral bahwa manusia harus mampu mengendalikan hasrat duniawinya dengan menggunakan akal budi dan hati nurani.
Istilah ‘ketupat’, atau dalam bahasa Sunda disebut ‘kupat’, mengandung makna larangan untuk membicarakan keburukan orang lain. Hal ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga lisan dan menghindari gosip atau fitnah yang dapat merusak hubungan sosial, terutama di momen Idul Fitri yang seharusnya diwarnai dengan kebahagiaan dan saling memaafkan.
Dalam konteks yang lebih luas, ketupat juga dimaknai sebagai empat tindakan, yaitu: lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Keempat elemen ini melambangkan terbukanya pintu maaf, melimpahnya rezeki untuk dibagikan kepada sesama, saling memaafkan, dan menjaga kesucian diri. Makna-makna ini sangat selaras dengan semangat Idul Fitri sebagai momen untuk memperbaiki diri dan mempererat hubungan dengan sesama.
Proses penyajian ketupat pun tidak lepas dari simbolisme. Beras putih yang menjadi isi ketupat melambangkan hati yang bersih sebagai representasi dari saling memaafkan. Sementara itu, warna kuning kehijauan pada pembungkus ketupat dianggap sebagai penolak bala.
Lebih jauh lagi, beberapa orang percaya bahwa tradisi menggantung ketupat di depan rumah dapat mengusir roh jahat. Dalam artian bahwa Idul Fitri, pada prinsipnya adalah momen untuk membersihkan diri dari segala hal negatif.
Dalam dimensi sosial, ketupat menjadi simbol solidaritas dan hubungan timbal balik antar manusia. Kebiasaan saling memberi ketupat mencerminkan adanya kontak, komunikasi dan sikap saling peduli dalam masyarakat.
Ketupat, dengan segala simbolismenya, tidak hanya menjadi hidangan pendamping opor ayam, ia juga menjadi penghubung antara dimensi spiritual dan aspek sosial-budaya pada masyarakat Indonesia. Memahami makna filosofis dan simbolik di balik ketupat, setidaknya memicu kita untuk merenungkan ulang, apakah kita benar-benar telah mengamalkan pesan-pesan moral yang terkandung di dalamnya?
Wallahu A’lam.