Setelah 26 tahun Indonesia memasuki era Reformasi, aspirasi yang diharapkan ternyata masih jauh dari kata terwujud, bahkan mengalami berbagai bentuk pengingkaran. Tuntutan gerakan Reformasi pada dasarnya mencakup berakhirnya rezim Orde Baru, penegakan supremasi hukum, pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), perubahan konstitusi, serta implementasi otonomi daerah yang luas (Arita Nugraheni, 2023). Namun, belakangan ini, semangat Reformasi yang diperjuangkan sejak 1998 mulai ternoda oleh adanya upaya-upaya yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusional. Berawal dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU/XXII/2024 berkaitan dengan ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik dan putusan MK Nomor 70/PUU/XXII/2024 berkaitan pengujian ketentuan persyaratan batas usia minimal calon kepala daerah (20/8/2024).
Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai negative legislator telah menyatakan bahwa substansi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, khususnya Pasal 40 ayat (1), bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Pasal yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut semula berisi bahwa partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan suara minimal 20% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau perolehan 25% dari akumulasi suara dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah persyaratan pencalonan oleh partai politik dan disesuaikan dengan persentase pencalonan perseorangan yakni 6,5% sampai dengan 10% sesuai dengan jumlah penduduk yang terdapat dalam daftar pemilih tetap (DPT). Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut sudah sejalan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota dilakukan secara demokratis. Salah satu yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya adalah menghendaki pemilihan kepala daerah yang demokratis dan membuka peluang kepada semua partai politik peserta pemilu yang juga memiliki suara sah dalam pemilihan umum untuk dapat mengajukan bakal calon kepala daerahnya dan masyarakat diberikan kesempatan untuk memilih calon yang beragam serta tidak hanya diikuti oleh calon tunggal. Sehingga demokrasi berjalan dengan sehat dan adil.
Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Final and Binding
Secara historis, ide kelahiran Mahkamah Konstitusi (MK) pernah digagas oleh Muhammad Yamin dalam rapat BPUPKI yang kemudian ditolak Soepomo dengan alasan Undang-Undang Dasar 1945 tidak didasarkan teori pemisahan trias politica, dan alasan kedua sarjana hukum pada saat itu masih belum memadai untuk menjalankan tugas membandingkan undang-undang seperti yang digagas oleh Muhammad Yamin (Isra, 2021). Lalu, Gerakan Reformasi tahun 1998 menjadi angin segar untuk menarasikan kembali gagasan Muhammad Yamin terkait pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Pada Sidang Istimewa MPR 1998 dibahaslah landasan hukum mengenai reformasi di bidang perubahan kekuasaan kehakiman, utamanya kemandirian lembaga yudikatif dan jaminan pemberian kewenangan dalam upaya pengujian undang-undang (judicial review). Sejak dahulu terdapat empat kali perubahan UUD 1945 dan pada perubahan ketiga muncullah Pasal 24C yang memuat ketentuan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembahasan antara Pemerintah dan DPR berkaitan Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan kemudian hasilnya disahkan pada sidang paripurna DPR pada 13 Agustus 2003.
Berbeda dengan peradilan lain yang masih bisa diupayakan lanjutan seperti banding, kasasi, dan peninjauan kembali, putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final and binding (yakni terakhir dan mengikat kepada seluruhnya). Sehingga baik badan legislatif maupun yudikatif harus mematuhi apa yang termuat dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of constitution). Namun pada kenyataannya, selalu ada celah untuk tidak mematuhi putusan MK seperti eksekutif yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Undang-Undang Cipta Kerja dengan Perpu No 2 Tahun 2022 lalu menjadi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
Kemudian yang terbaru adalah upaya untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan upaya rapat panja pembahasan RUU Pilkada oleh DPR secara kilat. Keadaan menjadi semakin problematik ketika keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) diabaikan oleh institusi-institusi yang seharusnya mematuhinya. Mengingat Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri adalah lembaga yudikatif yang tidak memiliki lembaga eksekutorial, maka masih belum ada institusi yang bertanggung jawab untuk mengawasinya. Sampai saat ini belum ada sanksi yang dapat dikenakan. Menurut Jamil, dosen Universitas Bhayangkara Surabaya, ketika putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dilanggar, maka satu-satunya cara adalah melahirkan reformasi, yaitu aksi turun jalan (demo!).
Dikotomi Putusan MK dan Putusan MA Sebagai Dalil dalam RUU Pilkada oleh DPR
Permasalahan bukan hanya terletak pada legislatif/DPR yang menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) saja. Namun, pegangan dan landasan mendasar DPR untuk merevisi UU Pilkada didasarkan pada putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23P/Hum/2024 yang memutuskan bahwa usia calon terpilih dihitung sejak pelantikan, bukan sejak penetapan calon terpilih. Sementara, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 70 PUU-XXII/2024, usia calon terpilih terhitung sejak ditetapkan sebagai bakal calon.
Hal ini yang menjadi dikotomi antara kedua lembaga yudikatif tersebut. Putusan MA Nomor 23P/Hum/2024 adalah pengujian Pasal 4 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020. Sedangkan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 dalam rangka menguji Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Pilkada. Ditinjau dari tugas dan pokok antara Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang Dasar 1945 (UUD) secara konkret telah mengatur dengan jelas. MA berwenang menguji peraturan di bawah undang-undang, seperti Perpres, perda, dan termasuk PKPU.
Sedangkan Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan terkait peraturan yang setingkat dengan Undang-Undang. Sehingga berdasarkan hierarki perundang-undangan, undang-undang menjadi tingkatan tertinggi setelah UUD 1945 dan TAP MPR dibandingkan peraturan yang lain. DPR harus mengikuti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang normanya sudah dirubah oleh Mahkamah Konstitusi (MK), bukan peraturan di bawahnya seperti PKPU Nomor 9 Tahun 2020. Terlebih lagi Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa materi muatan yang harus diatur dalam undang-undang adalah muatan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Maka tidak ada alasan lain bagi DPR untuk tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dengan kata lain, produk legislatif harus sesuai dengan apa yang diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK), termasuk RUU Pilkada yang sedang hangat dibicarakan saat ini.