Saat ini, fenomena wanita karir menjadi pembicaraan hangat di ruang publik. Dalam dekade terakhir, keterlibatan perempuan dalam dunia kerja mengalami peningkatan. Hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa perempuan, kedepannya dapat menjadi pionir penting dalam dunia modern ini. Namun, di sisi lain, keterbukanan wanita dalam dunia kerja juga menimbulkan kekhawatiran terhadap peran perempuan sebagai istri atau ibu dalam lingkungan keluarga.
Ketidakhadiran perempuan dalam rumah tangga dapat menjadi salah satu faktor terjadinya perselingkuhan akibat kurangnya komunikasi antara suami dan istri. Komunikasi adalah kunci penting untuk menjaga keharmonisan rumah tangga agar saling terbuka satu dengan lainnya. Masalah ini sering timbul akibat kurangnya perhatian istri terhadap suami begitu pun sebaliknya, karena rumah tangga yang didasari oleh kebencian dan kurangnya kasih sayang tak ayal hanys akan melahirkan konflik dan pertengkaran.
Peran Suami-Istri dalam kelurga Islam
Dalam konteks Islam, peran suami dan Istri telah dibagi sesuai dengan kodratnya. Abdul Latif dalam Zawaj bila Nadam menjelaskan bahwa peran suami terhadap istri terbagi menjadi tiga: Pertama, suami adalah imam bagi istri dan anak-anaknya. Layaknya seorang imam, suami dituntut mampu menahkodai istrinya sesuai dengan syariat agama. Pendidikan agama menjadi poin penting sebab nilai moral dan etika keluarga atau suami istri dapat tercermin pada seberapa kuatnya mereka menjadikan agama sebagai landasan hidupnya.
Kedua, memberikan nafkah dan kehidupan yang layak bagi istri. Di awal pernikahan suami wajib memberikan mahar kepada istri, begitu pula pasca pernikahan. Tugas suami wajib memenuhi finansial dalam keluarga, menjaga kestabilan ekonomi rumah tangga dan juga sebagai bentuk penghormatan suami terhadap istri.
Ketiga, peran penting yang wajib disadari oleh suami yaitu dukungan emosional termasuk mendengarkan istri, mengasuh anak, dan mendukung keinginannya selagi itu hal positif. Bahkan hal kecil seperti membantu pekerjaan rumah tangga, juga termasuk dalam tanggung jawab suami atas istri.
ketiga tugas suami yang dijelaskan dalam kitab tersebut menggambarkan figur atau sosok yang aktif dalam urusan finansial atau luar rumah. Namun bukan berarti suami lepas tangan begitu saja dari pekerjaan rumah.
Jika diamati secara seksama, ketiga tugas suami yang dijelaskan dalam kitab tersebut menggambarkan figur atau sosok yang aktif dalam urusan finansial atau luar rumah. Namun bukan berarti suami lepas tangan begitu saja dari pekerjaan rumah. Kehadiran suami dalam rumah dapat dinilai sebagai apresiasi atau bukti kecintaan suami yang dapat meringankan tugas istri. Serta kewajiban suami dalam menafkahi istri menjadi alasan bagi hak-haknya untuk selalu dihormati, didengarkan, dilayani dan ditaati.
Sikap ini tentu mempunyai dampak positif pada kehidupan rumah tangga secara keseluruhan. Saling menghormati antara suami dan istri serta contoh yang baik dari orang tua akan membentuk sikap anak-anak untuk saling menyayangi dan mengasihi satu sama lain. Itulah mengapa suami berhak mendapatkan apresiasi timbal balik sesuai tanggung jawab apa yang telah ia berikan.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
“Laki-laki itu pelindung bagi perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah menjaga mereka.” (QS. An-Nisa: 34)
Ayat di atas cukup menjelaskan bagaimana Allah memuliakan suami dengan menjadikannya sebagai kepala rumah tangga dengan tugas memberikan nafkah kepada istri. Hal itu dipahami sebagai anugerah yang wajib disyukuri, karena Allah meletakkan kehormatan suami dengan menjadikannya sebagai kepala rumah tangga. Kemuliaan yang Allah berikan kepada suami tidak diartikan sebagai kekuasaan absolut, namun diartikan sebagai tanggung jawab untuk melindungi dan memandu keluarganya.
Selanjutnya, istri akan merasa lebih terhormat jika ia cukup menjaga diri di rumah dan menerima nafkah dari suaminya. Perempuan sholehah digambarkan sebagai perempuan yang mampu menjaga kehormatan suami dan keluarganya. Mereka (wanita) akan menjaga derajat keluarga dengan ketaatan pada syariat agama.
Hampir seluruh perempuan di dunia telah terpengaruh dengan budaya modern sehingga mereka mempunyai ambisi dalam mengejar karir.
Namun pada bagian ini, terdapat beberapa perubahan peran suami istri sebagai pola kehidupan modern. Gus Mirwan Akhmad Taufiq menjelaskan perubahan peran perempuan dalam rumah tangga, “Hampir seluruh perempuan di dunia telah terpengaruh dengan budaya modern sehingga mereka mempunyai ambisi dalam mengejar karir”.
Tantangan Modernitas
Melihat fenomena tersebut, mengakibatkan peran istri terhadap suami kian mengkabur. Dalam pembagian peran, tampak pembagian tugas mulai tertukar; suami banyak menghabiskan waktu di rumah dengan mengurus anak dan mengerjakan pekerjaan rumah sementara istri sibuk mengejar deadline pekerjaan di luar rumah.
Dengan itu, waktu bersama keluarga pun terbatas sebab tuntutan pekerjaan yang menumpuk sehingga timbul ketidakstabilan sistem keluarga. Lebih dari itu, masalah terburuk muncul ketika istri hanya berfokus pada pekerjaan dan meninggalkan kewajibannya untuk memenuhi hak suaminya seperti kurangnya kepedulian atas sesama anggota keluarga bahkan berakhir pada perceraian.
Dalam fase hubungan pernikahan, ketika seorang lelaki mengucapkan ijab qabul, maka ia telah berjanji kepada Allah serta orang tua perempuan untuk menjaga ikatan pernikahan tersebut. Dalam hal itu, suami bertanggung jawab menafkahi istri menggantikan peran orang tuanya. Melalui hal itu, suami adalah sosok yang harus dipatuhi perintah baiknya, karena ia menggantikan peran ayah bagi istri. Oleh sebab itu, Taat kepada suami menjadi salah satu cara untuk memperoleh ridha Allah, dengan batas-batas yang tidak melanggar syariat Islam.
Hal tersebut didasarkan pada Hadits mengenai ketaatan istri terhadap suami yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik ra., Rasulullah SAW bersabda:
لا يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ ، وَلَوْ صَلُحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا
“Tidak diperbolehkan seorang hamba sujud kepada hamba yang lain. Andaikan diperbolehkan bersujud kepada hamba lain, maka aku akan memerintahkan seorang istri untuk sujud kepada suaminya, karena besarnya hak suami terhadap istri.”
Meskipun tanggung jawab suami terhadap istri sangat besar, Islam tidak mengajarkan perbudakan atau penyembahan terhadap sesama manusia. Kedudukan setiap hamba setara di mata Allah, tanpa melihat gender tertentu.
Meskipun pemikiran modern banyak mempengaruhi peran suami-istri, akan tetapi hal itu tidak selamanya bersifat negatif. Misalnya, kesempatan perempuan memperoleh pendidikan tinggi dapat menggerus persepsi masyarakat yang mengatakan perempuan tidak boleh sekolah tinggi-tinggi karena akan berujung pada urusan dapur. Kesempatan pendidikan bagi perempuan harus dipahami sebagai upaya membentuk seorang ibu yang dapat bertanggung jawab pada pertumbuhan seorang anak yang tergambarkan dalam adagium: “Ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya.”
Melalui hal tesebut, menurut penulis, fenomena wanita karir tidak bermaksud untuk mengunggulkan derajat istri di atas suami, akan tetapi dapat dipahami sebagai upaya istri untuk membantu suami dalam konteks finansial. Meski demikian perlu dicatat, kewajiban seorang istri kepada suami atau sebaliknya harus dijalankan sesuai dengan ajaran Islam agar masa depan keluarga dapat berlangsung dengan baik.
Wallahu a’lam.