Memasuki tahun baru 2025, dua persoalan gawat menjadi perhatian publik dari berbagai lapisan masyarakat. Persoalan pertama terkait pemagaran laut sejauh 30,16 kilometer di Kabupaten Tangerang yang banyak merugikan para nelayan.
Kemudian, dalam beberapa pekan terakhir, kelangkaan gas LPG 3 kg menjadi persoalan kedua yang banyak dibicarakan, bahkan hingga menciptakan keributan. Berawal dari larangan penjualan gas LPG 3 kg di tingkat pengecer oleh Kementerian ESDM, kebijakan ini justru memperburuk situasi dan bukannya menyelesaikan persoalan harga subsidi gas LPG.
Publik pun menunjukkan kemarahan, yang tercermin dalam video seorang pria yang memarahi seorang menteri di tengah publik ketika melakukan blusukan ke sejumlah tempat yang mengalami kelangkaan gas elpiji. Sama halnya dengan kondisi pertama, seorang nelayan juga tampil di salah satu talkshow di televisi nasional, menjelaskan makna kemanusiaan dan kesejahteraan kepada para panelis lainnya, yang kebanyakan berasal dari politisi dan perwakilan pemerintah.
Parahnya, dalam hitungan hari, kebijakan tersebut ditangguhkan oleh pihak yang berwenang. Reaksi ini menimbulkan kesan bahwa kebijakan tersebut diambil secara “serampangan”, bukan berdasarkan kajian yang mendalam.
Persoalan tersebut terjadi secara bergantian antara Januari hingga Februari dan dapat dikatakan sebagai langkah awal yang kurang baik di tahun ini. Namun, apakah hal ini mencitrakan ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo dan Gibran?
Program Populis
Dalam hasil survei yang dilakukan Litbang Kompas pada 4-10 Januari 2025, disebutkan bahwa kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan baru mencapai 83,7 persen. Apresiasi tertinggi berasal dari kinerja pemerintah dalam ranah kesejahteraan sosial, sementara masalah pengentasan kemiskinan masih menjadi persoalan yang belum terpecahkan. (https://www.kompas.id/artikel/survei-100-hari-prabowo-gibran-kepuasan-publik-809-persen-pemerataan-jadi-tantangan)
Jika dilihat dari awal pelantikan hingga menjelang 100 hari kepemimpinan Prabowo-Gibran, kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan baru menunjukkan tren positif. Dari hasil survei yang sama, terdapat tiga aspek yang memperoleh kepuasan publik di atas 80 persen. Ketiga aspek tersebut adalah peningkatan kualitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pengembangan budaya gotong royong. Secara singkat, program populis dari pemerintahan baru mendapatkan apresiasi tertinggi dibandingkan dengan program-program lainnya.
Saat ini, program populis menjadi pilar apresiasi bagi sebuah pemerintahan baru. Hal ini dapat mudah dipahami dalam konteks keuntungan politik. Populisme pada dasarnya merupakan strategi dengan menampilkan keberpihakan terhadap rakyat kecil, namun tidak selalu menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar lainnya. Salah satu ciri populisme yang digambarkan oleh Francis Fukuyama, seperti yang dikutip oleh Bivitri dalam tulisannya di Kompas, adalah kebijakan yang terdengar populer walaupun dipaksakan dan berpotensi menimbulkan guncangan pada persoalan-persoalan lain, seperti anggaran dan korupsi.
Hal yang dikhawatirkan dari populisme adalah munculnya perbedaan layanan antara “kita” dan “mereka”. Fukuyama menjelaskan bahwa populisme menjadi konsep sempit mengenai siapa yang layak dilayani oleh pemerintah. Hal ini bisa menimbulkan narasi nasionalisme sempit yang anti-asing atau menganggap etnis tertentu bukan bagian dari populasi. Pemerintahan yang populis juga berpotensi untuk menekan kritik.
Mental Culas Nan Menyebalkan
Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari menghadirkan tokoh Sakarya. Karakter Sakarya digambarkan sebagai sosok yang konservatif, culas, dan menyebalkan. Karakter tersebut menolak perubahan dan menganggap segala kesengsaraan sebagai hal biasa, sambil mengambil keuntungan dari kondisi tersebut. “Siapa yang sampean maksud dengan kaum penindas?” tulis Ahmad Tohari dalam dialog Sakarya, “Kaum imperialis, kapitalis, kolonialis, dan para kaki tangannya. Tak salah lagi!”
Mental Sakarya menjadi penyakit laten di tengah program, peraturan, dan kebijakan yang hanya ditujukan untuk memperoleh keuntungan politik elektoral. Program yang seakan pro-rakyat ternyata diperuntukkan bagi kelompok tertentu saja. Jika mental seperti Sakarya ini dimiliki oleh pejabat, tentu akan merusak prinsip demokrasi bahkan mengorbankan prinsip tersebut demi keuntungan kelompok mereka. Mental seperti ini tampaknya sudah ditunjukkan oleh mayoritas pejabat negara ini.
Sementara itu, jika mental ini dimiliki oleh sejumlah kelompok, eksklusivitas kelompok tak dapat dihindari. Kebijakan pemerintah yang hanya menguntungkan kelompok kelas tertentu akan didukung meskipun menyalahi prinsip keadilan dan kemanusiaan. Di tengah kondisi dan mental pejabat seperti itu, suara-suara kritis harus terus digaungkan. Dari persoalan gawat di awal tahun ini, muncul suara-suara kritis dari lapisan bawah, yang ditunjukkan oleh seorang pria yang memarahi menteri dan seorang nelayan yang mengajarkan makna kemanusiaan kepada para pejabat bermental Sakarya. Dengan menjaga suara-suara kritis tetap berbunyi, kita dapat berharap agar tujuan negara ini tetap terjaga. Semoga!
Ilustrator: Tazkiyah Naila Akmala