Serangkaian gerak diplomasi dan aksi militer yang dilakukan, baik oleh negara-negara Arab yang tergabung dalam Liga Arab dan perjuangan Bangsa Palestina yang diwakili oleh PLO menunjukkan perkembangan dan dinamika yang secara konsisten menguntungkan Israel dan merugikan Palestina. Ini bisa terjadi, karena ‘nasionalisme besar’ bangsa Arab tidak mampu untuk menyatukan langkah dan sikap menghadapi gerak diplomasi dan agresi Israel yang selalu didukung oleh Amerika Serikat, Soviet (saat ini Rusia) dan Inggris.
Kekuatan ekonomi negara-negara Arab tidak mampu memengaruhi kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat karena di internal negara-negara Arab terjadi konflik yang tidak kunjung usai. Sementara ‘nasionalisme Palestina’ terbelah menjadi dua faksi: nasionalis Islam yang diwakili Hamas dan nasionalis sekuler yang diwakili PLO dengan sayap militer Fatahnya.
Sulitnya dicapai kesepakatan baik di internal negara-negara Arab maupun di antara sesama pejuang rakyat Palestina berakibat serangkaian perjanjian dan perlawanan militer negara-negara Arab dan Palestina selalu berada di bawah keunggulan negara Zionis Israel.
Ketidakmampuan pejuang bangsa Palestina untuk merekonstruksi sejarah mereka yang menunjukkan bahwa Palestina adalah bangsa yang berhak mendirikan negara, dengan menunjukkan bahwa mereka pernah berkuasa di atas tanah Palestina itu ‘lebih hebat’ dari sejarah bangsa Yahudi, menjadi faktor lain yang tidak bisa meyakinkan negara-negara Eropa dan Amerika bahwa Palestina itu adalah sebuah bangsa yang berhak mendirikan negara setara dengan negara Israel.
Mestinya, Palestina sebagai bangsa merekonstruksi kejayaannya dimulai sejak tanah ini dikuasai kaum Muslim. Tidak merujuk pada legalitas bangsa-bangsa yang pernah menduduki Palestina sebelum Islam menguasai kawasan tersebut.
Faktor penting lain yang membuat pertarungan Arab-Israel atau tepatnya Palestina-Israel itu tak menemukan titik terang adalah karena kesalahan prediksi mayoritas negara-negara Arab, terutama para pejuang Palestina terhadap pemenangan perang, baik pada Perang Dunia I maupun pada Perang Dunia II. Kesalahan ini membuat langkah dan arah perjuangan menjadi salah fatal yang sama sekali tidak menguntungkan rakyat Palestina, dan sebaliknya menguntungkan Israel.
Kekalahan demi kekalahan negara-negara Arab melawan Israel (1948, 1967, 1973) membuat posisi tawar Palestina untuk mendirikan negara merdeka semakin jauh. Pada akhirnya Mesir harus bersikap realistis dengan tuntutan agar Israel mengembalikan dua provinsi: Sinai Utara dan Sinai Selatan yang diduduki pada perang 1967 untuk dikembalikan ke Mesir melalui perjanjian Camp David (1979), tanpa menyebutkan perdamaian dengan Palestina.
Kondisi ini ‘memaksa’ pihak Palestina untuk juga bersikap realistis dengan cara menerima Perjanjian Oslo 1993 yang memberikan hak otonomi bagi Palestina untuk dua kawasan: Tepi Barat dan Jalur Gaza.
Sikap beberapa negara Arab seperti Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Sudan yang melakukan hubungan diplomatik dengan Israel di bawah tekanan Amerika, tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan Palestina, membuat penerimaan Palestina dalam Perjanjian Oslo 1993 sebetulnya jauh dari keinginan ideal untuk mendirikan negara Palestina. Arab Saudi, karena posisinya sebagai penguasa dua tanah suci: Makkah dan Madinah, masih merahasiakan hubungan diplomatiknya dengan Israel. Padahal pejabat tinggi dari dua negara sudah sering dilakukan secara rahasia.
Ini membuat perjuangan Bangsa Palestina dalam mendirikan negara di atas tanah sesuai batas-batas yang ditentukan oleh PBB pada 1948 semakin jauh. Perkembangan ini dimanfaatkan oleh Israel untuk memperluas pendudukan wilayah baik Yerusalem Timur maupun Tepi Barat secara ilegal.
Mengingat watak Israel yang ekspansionis, mestinya faksi-faksi pejuang Palestina yang secara ideologis bertentangan, untuk sementara ‘melupakan’ perbedaan, dan bersatu menjaga keutuhan kawasan, demi tercapainya cita-cita mendirikan negara Palestina merdeka yang didukung sekaligus diakui oleh PBB.
Cita-cita ini tentu tidak mudah, butuh kekuatan, gerak diplomasi dan menyatukan milisi-milisi bersenjatanya menjadi Tentara Nasional Palestina yang kuat dan di bawah satu komando Panglima. Semoga Palestina segera merdeka!
Tulisan ini juga terbit di: https://bincangsyariah.com/khazanah/evaluasi-perjuangan-bangsa-palestina/