Mayoritas dari kita tentu sering menyaksikan prosesi walimah, kenduri, hajatan, dan kegiatan-kegiatan lainnya. Dari sekian banyak kegiatan ini, seringkali kita mendapati acara yang tidak terkoordinasi dengan baik sehingga prosesi walimah atau kenduri digelar di tengah jalan umum, jalan lokal, bahkan jalan-jalan sempit.
Suatu hari, kawan saya datang bersungut-sungut setelah menjadi korban fenomena penutupan jalan untuk acara kenduri hajatan. “Ris, bagaimana menurutmu tentang acara yang sampai menutup jalan itu? Kita jadi harus berputar-putar arah dan pusing mencari jalan lain,” tanyanya dengan raut muka yang masih tampak kesal. Saya menanggapi dengan nada pasrah, “Yah, mau bagaimana lagi? Ini sudah jadi tradisi. Lagipula, siapa tahu suatu hari kita juga yang akan melakukannya dan membuat orang lain menempuh jalan memutar ‘kan?”
“Beberapa pertimbangan seperti acara yang diselenggarakan di jalan lokal atau jalan kolektif dapat mengganggu arus transportasi masyarakat…”
Pada momen itu, saya berpikir pragmatis hingga mengesampingkan dampak-dampak dari kegiatan tersebut. Namun, pada titik tertentu, saya berpikir ulang bahwa hal itu merupakan tindakan yang kurang bijak. Beberapa pertimbangan seperti acara yang diselenggarakan di jalan lokal atau jalan kolektif dapat mengganggu arus transportasi masyarakat, terutama jika kegiatan tersebut berlangsung dalam durasi yang cukup lama.
Jika ditinjau melalui administrasi publik, pemilik acara setidaknya telah mengurus perizinan kepada ketua RT atau RW setempat. Namun, tidak sedikit juga oknum yang mendirikan kegiatan tanpa izin dan tidak memikirkan kemaslahatan umum. Hal tersebut terkadang dapat memunculkan permasalahan lain karena pada dasarnya jalan, yang ditutup adalah akses umum yang melibatkan banyak pihak.
Banyak kalangan masyarakat diam menghadapi fenomena seperti ini. Selain kegiatan tersebut merupakan tradisi yang telah mengakar kuat, keterbatasan ekonomi juga menjadi faktor yang patut direnungkan. Namun, kita perlu memikirkan dampak yang akan terjadi ke depannya, terutama bagi generasi milenial dan generasi Z yang sering dinilai sebagai generasi instan.
Tata ruang yang sempit, keterbatasan finansial, dan perizinan yang sulit menyebabkan pemilik kegiatan berada di posisi tersudutkan dan dilematis. Hal ini juga menyulitkan dalam memperoleh win-win solution bagi seluruh pihak. Namun, pengaturan secara tegas mustilah dilakukan. Hal itu bertujuan untuk menciptakan kesadaran yang berorientasi pada kemaslahatan umum dan agar memperkecil terwariskannya dampak negatif bagi generasi berikutnya. Salah satu langkah untuk melakukan hal itu adalah melalui pembacaan terhadap literatur fikih yang telah memberikan perspektif menarik.
Fikih Lalu Lintas
Konsep fikih Islam melandasi jalan sebagai suatu media yang menghubungkan atau melibatkan seluruh elemen masyarakat. Secara fungsional, karena perkembangan zaman, jalan tidak hanya berfungsi sebagai sarana masyarakat seperti digambarkan fikih klasik, tetapi juga sebagai tempat istirahat, bertransaksi, belajar, minum, bahkan membaca. Keseluruhan fungsi jalan ini bersifat legal selama menjaga asas inti dari jalan itu sendiri, yakni sarana lalu-lalang masyarakat.
“Syihabuddin al-Ramli, pengarang Nihāyah al-Muḥtāj berkomentar bahwa imam atau pemerintah berwenang untuk membubarkan oknum yang menggunakan jalan secara berlebihan setelah mereka menyelesaikan hajatnya.”
Dalam praktik kasus kenduri maupun hajatan dan sebagainya, luas tempat acara seringkali memakan tempat yang tidak sedikit hingga jalan pun tidak bisa dilewati. Syihabuddin al-Ramli, pengarang Nihāyah al-Muḥtāj berkomentar bahwa imam atau pemerintah berwenang untuk membubarkan oknum yang menggunakan jalan secara berlebihan setelah mereka menyelesaikan hajatnya.
Keseluruhan teori hukum di atas berdasarkan pada manhaj (jalan pikiran) hadis Nabi Muhammad Saw.:
لا ضرر ولا ضرار
“Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain” (HR. Ibnu Majah)
Konsep dasar ini menjadi banyak pijakan hukum bersosialisasi sesama makhluk hidup, salah satunya kasus pada saat ini. Pengguna jalan dikategorikan sebagai korban karena ketidakmampuannya memanfaatkan jalan dengan baik. Pahit untuk dinyatakan bahwa shahibul hajat (pemilik hajat) dapat digolongkan sebagai orang yang zalim terhadap pengguna jalan.
Pemerintah, selain meringkus oknum-oknum kegiatan yang menghalangi jalan, juga seharusnya memberikan fasilitas umum yang memadai untuk menanggulangi problematika seperti ini. Pemerintah mampu berperan lebih dalam permasalahan ini, baik itu menjadi mediator atau penengah jalannya negosiasi dari setiap pihak masyarakat.
Miris sekali jika hal ini tetap tidak diindahkan oleh pihak yang berwenang. Tanggapan dan komunikasi yang baik akan melahirkan jawaban yang solutif. Kegiatan seperti ini tidak dapat dibiarkan tanpa regulasi dan tindakan yang jelas dan tegas. Kita pun tidak dapat mengelak bahwa pasti akan terkena dampak negatif maupun positifnya. Namun jelasnya, harus ada cara untuk meminimalkan sisi negatif agar seluruh pihak tidak dirugikan dan legawa.
Referensi:
Wizarah al-Auqof wa al-Syuun Al-Islamiyyah, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 1st ed., vol. 28 (Kuwait: Al-Wizaroh, 2006), 347.
Muhammad bin Abi Al-Abbas Al-Ramli, Nihayah Al-Muhtaj, vol. 5 (Beirut: Dar Al-Fikr, 1984), 343.
Ibnu Majah Al-Qazwaini, Sunan Ibnu Majah, vol. 2 (Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, n.d.), 784.