Sebelum kekalahan kelompok sentral dari sekutu dalam Perang Dunia I (1914-1918 M), Palestina menjadi wilayah yang secara geografis masuk ke dalam Provinsi Suriah, bagian yang tidak terpisahkan dari Kekhalifahan Turki Usmani yang berpusat di Istanbul. Mengingat posisi Yerusalem sebagai kota suci bagi tiga agama: Islam, Kristen, dan Yahudi, yang merupakan bagian dari Palestina, hampir semua negara besar di Eropa seperti Jerman, Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat memiliki kantor perwakilan di Yerusalem.
Jamal Pasha, wakil dari Turki Usmani yang menguasai Palestina, setelah mendengar kabar penyerangan Sir Edmund Allenby, Panglima tentara Inggris ke wilayah Palestina, memutuskan untuk mendeportasi kaum Yahudi yang telah berada di Yerusalem dari wilayah Palestina.
Pada 25 November 1917, Allenby berhasil menduduki wilayah Nablus, sebuah kota strategis dekat Yerusalem. Kontak senjata antara pasukan Turki-Palestina yang diperkuat oleh tentara Jerman melawan tentara Inggris terjadi selama empat hari. Pada akhirnya, pasukan gabungan Turki-Palestina dan Jerman harus menerima kekalahan.
Sejak itu, secara de facto, Palestina berada di bawah kekuasaan tentara Inggris. Kemudian, pada 4 Desember 1917, Inggris secara de jure menduduki Palestina karena saat itu seluruh kekuatan Turki Usmani dan tentara Palestina pimpinan Amin al-Husaini sudah menyerah.
Pendudukan Inggris atas Palestina terus berlanjut; perlawanan sporadis gerilyawan Palestina tidak memiliki pengaruh signifikan. Masa transisi antara 1918-1922 digunakan oleh ‘penguasa Inggris’ di Palestina untuk mendukung gerakan migrasi besar-besaran kaum Yahudi dari berbagai negara, terutama Eropa, ke Palestina. Pada 24 Juli 1922, Inggris sebagai pemenang perang mendapat mandat dari Liga Bangsa-Bangsa (League of Nations) untuk menduduki Palestina dengan status pemerintahan wajib (mandatory government).
Dengan demikian, Inggris dan kaum Zionis secara leluasa dan legal menurut hukum internasional dapat mendukung kaum Yahudi mendirikan negara di bumi Palestina. Sementara itu, negara-negara Arab, terutama bangsa Palestina sendiri, terus melakukan perjuangan diplomasi dan militer untuk menolak kehadiran negara Yahudi yang dijanjikan Inggris sesuai Perjanjian Balfour.
Mereka menuntut: 1) Menghapus Perjanjian Balfour yang dinilai tidak adil terhadap hak-hak bangsa Palestina; 2) Menghentikan migrasi kaum Yahudi dari luar tanah Palestina; 3) Menghentikan penjualan tanah kepada kaum Yahudi; 4) Mendirikan pemerintahan Palestina yang dipilih oleh parlemen sebagai perwujudan keinginan hakiki dari rakyat Palestina; 5) Terus melakukan gerakan yang mengombinasikan antara diplomasi dan militer dengan pemerintahan mandat Inggris agar hak-hak Palestina tidak terabaikan.
Masa antara 1922-1937 di kalangan bangsa Arab dikenal sebagai revolusi besar bangsa Palestina. Kondisi keamanan yang kurang kondusif akibat perlawanan bangsa Palestina yang terus-menerus dan gerakan diplomasi negara-negara Arab serta Palestina sendiri memaksa pemerintahan mandat Inggris pada 1937 untuk mengajukan proposal pembagian dua negara: Israel dan Palestina.
Proposal ini menyebutkan bahwa status Kota Suci Yerusalem, Betlehem, serta jalan menuju dua kota suci ini berada dalam pengawasan internasional. Agar bangsa Arab dapat menerima, proposal ini juga menyebutkan bahwa negara Yahudi yang akan berdiri dan pemerintahan mandat akan membantu administrasi, birokrasi, serta mendukung keuangan negara Palestina yang akan didirikan sebagai kompensasi penerimaan bangsa Arab terhadap negara Yahudi, Israel.
Menjelang meletusnya Perang Dunia II (1939-1945), kekuatan politik Inggris di kancah internasional mulai meredup dan digantikan posisinya oleh Amerika Serikat. Oleh karena itu, kaum Zionis, terutama yang tinggal di Amerika, melakukan pendekatan dan gerakan diplomasi dengan Presiden Amerika Franklin Delano Roosevelt (1933-1945).
Sementara itu, bangsa Arab dan pejuang Palestina masih menganggap Inggris sebagai pemegang kunci diberikannya status negara bagi bangsa Palestina. Karena akhir dari Perang Dunia II menaikkan kekuatan politik dan diplomasi Amerika Serikat yang mengungguli Inggris, kaum Zionis Yahudi sangat diuntungkan. Sedangkan bangsa Arab dan Palestina menelan banyak kekecewaan karena migrasi besar-besaran kaum Yahudi tidak pernah berhenti dan pembelian tanah dari rakyat Palestina terus berlanjut.
Setelah beberapa tahun kaum Yahudi dan Palestina terlibat konflik sebagai akibat adanya usulan Komisi Inggris-Amerika pada 1945 yang menganjurkan penerimaan 100.000 kaum Yahudi di Palestina. Usulan tersebut kemudian ditolak oleh Inggris karena hal itu diprediksi akan memunculkan gelombang kerusuhan antara kaum Yahudi dan Palestina.
Inggris merasa usulan tersebut ditolak baik oleh Palestina maupun oleh kaum Yahudi. Karena itu, badan PBB yang baru saja dibentuk kemudian mengusulkan rencana pembagian Palestina menjadi dua negara, satu negara Arab dan satu negara Yahudi dengan Yerusalem ditujukan sebagai kota internasional (corpus separatum) untuk menghindari status mengenai kota itu.
Komunitas Yahudi menerima rencana tersebut, tetapi Liga Arab dan Komite Tinggi Arab menolaknya dengan alasan kaum Yahudi mendapat 55% dari seluruh wilayah padahal komposisinya hanya merupakan 30% dari seluruh penduduk Palestina.
Sebagai bentuk penolakan atas usulan tersebut, pada tanggal 1 Desember 1947, Komite Tinggi Arab mendeklarasikan pemogokan selama 3 hari dan kelompok-kelompok Arab mulai menyerang target-target Yahudi. Karena itu, perang antara orang Arab dan orang Yahudi pun tidak terelakkan, yang membawa konsekuensi tidak kecil, terutama keruntuhan perekonomian warga Arab Palestina dan sekitar 250.000 warga Arab Palestina diusir ataupun melarikan diri.
Pada 14 Mei 1948, sehari sebelum Mandat Inggris berakhir, Agensi Yahudi, David Ben-Gurion (1886-1973) memproklamasikan kemerdekaan dan menamakan negara yang didirikan tersebut dengan nama Israel. Sekaligus, dia dinobatkan sebagai Perdana Menteri pertama Israel pada tahun 1949, sedangkan Presiden pertama adalah Chaim Weizmann.
Pasca proklamasi Israel, perang kembali terjadi antara pihak Arab dan Yahudi. Ketika itu, pihak Arab telah mengepung Israel dari berbagai penjuru. Negara-negara Arab yang bertetangga langsung dengan Israel seperti Mesir, Yordania, Suriah, dan Lebanon telah menyiapkan pasukan mereka masing-masing. Mesir dikenal memiliki tentara didikan Inggris. Yordania (saat itu Transjordan) dipimpin oleh Brigadir John Bagot Glubb. Irak, Suriah, dan Lebanon memiliki pasukan yang banyak diisi oleh relawan.
Perang ini berakhir dengan kemenangan Israel. Kasus korupsi yang saat itu terjadi di masa pemerintahan Raja Farouk di Mesir menyebabkan krisis persenjataan dan makanan. Hal ini tentunya berakibat buruk pada pasukan Mesir. Pasukan Transjordan mungkin memperlihatkan usaha yang lebih baik, namun tetap tidak berpengaruh besar. Pasukan Irak dipersulit oleh jarak mereka yang jauh. Sementara itu, pasukan Lebanon dan Suriah tidak memperlihatkan perjuangan yang sungguh-sungguh, dikarenakan latar belakang mereka yang merupakan pasukan amatiran dan tidak profesional.
Pada 1956, para pemimpin Israel pernah berencana untuk mengadakan konferensi perdamaian. Dalam konferensi ini, dibacakan jalan apa saja yang dapat diambil demi tercapainya perdamaian antara bangsa Arab dan Israel. Para pemimpin Arab menolak undangan tersebut. Menurut mereka, jika bangsa Arab memenuhi undangan konferensi tersebut, maka sama saja mengakui hak Israel untuk berdiri di atas tanah Palestina.
Sepanjang perjalanan waktu pasca berdirinya Israel, di berbagai belahan dunia muncul demonstrasi dan unjuk rasa yang dilakukan, baik oleh kaum Muslim maupun non-Muslim, untuk mengecam Israel, dengan harapan negara ini dihapus dari muka bumi.
Kebencian bangsa dunia terhadap Israel disebabkan agresi dan perluasan wilayah yang terus dilakukan di tanah Palestina secara tidak manusiawi. Bahkan kelompok internal Yahudi sendiri mengecam Israel. Neturei Karta, misalnya, yang merupakan kelompok Yahudi anti-Zionisme, mereka menentang visi misi Zionisme. Selain itu, menurut mereka, Yahudi adalah agama, bukan bangsa atau etnik.
Perkembangan lebih lanjut pasca perang 1967 yang menunjukkan hegemoni kekuatan militer Israel berakibat pada memudarnya diplomasi negara-negara Arab dan perjuangan militer bangsa Palestina. Semangat perang dan kemenangan politik muncul kembali setelah perang yang di Mesir populer dengan perang 6 Oktober 1973. Dalam perang itu, ternyata tentara gabungan Mesir, Yordania, dan Suriah memiliki kekuatan yang mampu merontokkan mitos ‘kehebatan Israel’.
Hal ini karena tentara Mesir mampu mengalahkan bahkan bisa mengusir mereka dari sebagian wilayah Provinsi Sinai yang pada perang 1967 diduduki oleh Israel. Kemenangan ini membuat dinamika diplomasi perdamaian yang disponsori Amerika bergerak lagi.
Inilah latar belakang terjadinya perjanjian Camp David antara Mesir-Israel pada 1979 yang di antaranya menyebutkan meletakkan dasar-dasar dan prinsip perdamaian, memperluas Resolusi DK PBB nomor 242, menyelesaikan apa yang disebut sebagai ‘masalah Palestina’, menyetujui perdamaian Mesir-Israel, serta perdamaian antara Israel dan negeri-negeri tetangganya yang lain. Sebagai konsekuensi perjanjian ini, Mesir dan Israel saling mengirim duta besar yang ditempatkan di Kairo dan Tel Aviv.
Di sisi lain, karena perjanjian Camp David tidak mendapatkan restu dari Liga Arab, hampir seluruh negara-negara Arab memutuskan hubungan diplomatik dengan Mesir. Hal ini karena menurut mayoritas negara-negara Arab, Mesir ‘berkhianat’ terhadap perjuangan negara Palestina.
Namun, dalam perkembangan berikutnya, Yordania juga melakukan hubungan diplomatik, ekonomi, dan budaya dengan Israel. Kedua negara tersebut menjalin hubungan diplomatik secara resmi sejak 1994 dengan menandatangani perjanjian perdamaian Israel–Yordania. Raja Abdullah dari Yordania memandang Israel sebagai aliansi wilayah vital di Timur Tengah.
Gerak diplomasi antara Israel dengan negara-negara Arab berubah menjadi diplomasi antara Israel dan wakil Palestina. Dalam hal ini adalah Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang dipimpin oleh Yasser Arafat (1929-2004). Gerak diplomasi yang didukung oleh Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa menghasilkan Perjanjian Oslo pada 1993. Poin penting dalam perjanjian itu adalah pengakuan PLO terhadap negara Israel dan sebaliknya, pengakuan pemerintah Israel terhadap PLO sebagai perwakilan rakyat Palestina dan mitra negosiasi.
Selain itu, Perjanjian Oslo juga membahas peta jalan menuju perdamaian Israel-Palestina. Di samping itu, Perjanjian Oslo diteruskan dengan perjanjian perdamaian sementara untuk membentuk Pemerintah Otonomi Palestina 1993 yang di antaranya Israel menyetujui pemberian otonomi terbatas terhadap Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza, yaitu dua wilayah yang diduduki Israel dalam perang Timur Tengah 1967 sekaligus sebagai peta jalan menuju Palestina merdeka.
Tulisan ini juga terbit di: https://bincangsyariah.com/khazanah/palestina-versus-zionis-di-pangkuan-inggris/