Keluarga adalah unit terkecil dalam struktur sosial yang memiliki peran fundamental dalam mendidik serta mengarahkan perkembangan anak. Orang tua, baik ayah maupun ibu, memegang peranan penting dalam proses pengasuhan anak. Ketidakhadiran atau ketidakberfungsian salah satu orang tua dalam peran tersebut bisa berimbas pada perkembangan psikologis anak. Saat ini, isu ketidakhadiran figur ayah (fatherless) menjadi permasalahan global, termasuk di Indonesia. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga dunia dalam hal angka fatherless (Narasi.tv, 4/05/2023).
Istilah fatherless menjelaskan kondisi ketiadaan figur ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak, baik secara fisik, emosional, maupun psikologis. Kondisi ini bisa terjadi akibat berbagai faktor, seperti kematian, perceraian, ayah yang otoriter atau permisif, atau bahkan ayah yang tidak peduli terhadap perkembangan anaknya. Salah satu faktor utama yang memengaruhi tingginya angka fatherless adalah budaya patriarki.
Dalam lingkup keluarga, budaya patriarki tergambar pada peran seorang suami sebagai (hanya) pemberi nafkah, sedangkan istri disibukkan dengan hal-hal domestik seperti pekerjaan rumah tangga serta mengasuh anak. Seharusnya, ketika suami/ayah hanya melakukan kewajibannya sebagai pemberi nafkah tanpa ikut andil dalam pengasuhan dan pertumbuhan anak, maka perannya sebagai seorang suami/ayah belum terlaksana. Ketidakhadiran ayah dalam masa pertumbuhan anak berdampak pada tingkat kepercayaan diri, performa akademik, kemampuan mengambil risiko, kemampuan menyelesaikan masalah, serta pembentukan identitas gender dan peran seksual.
Wardah Roudhotina, seorang psikolog yang tergabung dalam komunitas Bara Duta Karangasem, mengatakan bahwa kekosongan peran ayah menimbulkan kebingungan anak terhadap peran gender, terutama saat anak memasuki usia tiga sampai enam tahun. Usia tersebut merupakan fase mereka mulai mengidentifikasi kesamaan diri dengan orang tua.
Dampak Psikologis
Kekosongan peran seorang ayah dalam kehidupan sehari-hari dapat menimbulkan dampak yang besar terhadap identitas gender anak. Meskipun sama-sama bisa merasakan dampak emosional akibat kehilangan atau ketidakhadiran peran ayah, anak laki-laki dan perempuan akan merasakan dampak yang berbeda serta cara yang berbeda dalam menghadapinya. Anak laki-laki akan lebih cenderung mengungkapkan frustrasi (kemarahan), sedangkan anak perempuan akan lebih cenderung menyimpan perasaan atau mencari figur sebagai pengganti seorang ayah.
Fatherless juga berpengaruh terhadap kebutuhan model maskulinitas bagi anak laki-laki. Ayah adalah sosok panutan dalam menggambarkan bagaimana menjadi laki-laki. Tidak adanya peran ayah dapat menyebabkan anak laki-laki kesulitan dalam memahami bagaimana menjadi seorang laki-laki serta kesulitan dalam memenuhi standar maskulinitas tertentu, seperti kekuatan fisik, ketegasan, serta kemampuan untuk mengelola emosi. Anak laki-laki membutuhkan figur ayah untuk mengajarkan cara mengelola emosi dan menunjukkan kelembutan atau empati. Ketika hal tersebut tidak terpenuhi, anak laki-laki bisa lebih cenderung menekan atau mengekspresikan emosinya dengan cara yang destruktif, seperti kekerasan atau agresi, hingga dapat berpengaruh pada cara menghormati perempuan.
Bagi anak perempuan, ayah sering kali dianggap sebagai figur pelindung. Ketidakhadiran ayah dapat membuat anak perempuan merasa kurang aman atau lebih rentan terhadap potensi bahaya yang ada di sekitarnya. Anak perempuan akan cenderung memiliki tingkat self-esteem atau kepercayaan diri yang rendah, yang dapat berpengaruh pada performa akademik. Selain itu, anak perempuan juga akan kesulitan untuk memahami seperti apa laki-laki yang baik, bahkan dapat memiliki ekspektasi yang tidak realistis, seperti berharap memiliki pasangan yang dapat mengisi kekosongan emosional yang ditinggalkan oleh figur ayah.
Peran Ganda Seorang Ibu
Ketidakhadiran figur ayah menjadi tantangan lebih besar bagi seorang ibu dalam mengawasi pertumbuhan anak. Dalam hal ini, ibu adalah role model atau panutan bagi anak-anaknya. Ibu merupakan satu-satunya figur otoritas yang mengatur rumah tangga dan membentuk pandangan anak perempuan terhadap peran gender. Jika ibu menunjukkan kekuatan, kemandirian, dan kemampuan untuk mengelola keluarga tanpa ayah, ini bisa memberi contoh positif bagi anak perempuan dalam hal kekuatan dan kemampuan diri.
Pada anak laki-laki, figur seorang ibu diharapkan dapat memberikan dukungan emosional, mengajarkan nilai-nilai yang sehat dalam hubungan antargender, dan membantu mengembangkan identitas yang seimbang. Ibu bisa memberikan fondasi yang kuat untuk anak laki-laki meskipun peran ayah tidak hadir.
Fenomena fatherless menjadi pengingat bagi laki-laki dan perempuan dalam memutuskan untuk membangun keluarga. Sebelum membangun keluarga, baik seorang laki-laki maupun perempuan sangat perlu untuk mulai mempelajari ilmu parenting guna memahami dinamika antara orang tua dan anak, sehingga peran ayah dan ibu pada anak dapat terpenuhi dengan baik.
Ilustrator: Aiska Safna Fitri