Pidato Prof. Dr. Ahmad Choirul Rofiq, M.Fil.I dalam pengukuhan Guru Besar di Universitas Islam Negeri Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo pada Sabtu, 19 Juli 2025, menekankan pentingnya moderasi sebagai sikap menjaga keseimbangan antara kesinambungan nilai dan kebutuhan perubahan. Moderasi, menurut beliau, menjadi jalan tengah untuk menghindari sikap ekstrem dalam memaknai sejarah. Sejarah sendiri merupakan ilmu yang menyusun fakta masa lalu secara kronologis, yang di Indonesia dikenal dengan istilah babad atau hikayat, sedangkan dalam tradisi Islam disebut tarikh yang menekankan dimensi waktu.
Dalam perjalanan Islam, moderasi tampak dalam sejarah Khawarij Ibadhiyyah, kelompok yang berbeda dari Khawarij ekstrem. Mereka menolak kekerasan dan menempuh jalan damai, dipelopori tokoh-tokoh seperti Abu Bilal Mirdas, Jabir ibn Zaid, dan ‘Abd Allah ibn Ibadh. Spirit moderasi ini kemudian melahirkan Daulah Rustamiyyah di Maghrib yang terkenal adil, menoleransi perbedaan mazhab, dan menyejahterakan rakyat. Kisah Rustamiyyah membuktikan bahwa moderasi mampu menjaga nilai luhur sambil mendorong perubahan konstruktif untuk kemaslahatan umat.
Contoh lain dapat dilihat di Jawa, khususnya Ponorogo. Pada masa Kesultanan Demak, wilayah Ponorogo masih berada di bawah pengaruh Majapahit melalui Kademangan Surukubeng yang dipimpin Ki Ageng Kutu, seorang penganut Buddha yang menentang Demak dengan dukungan Ki Hanggolono. Raden Fatah lalu mengutus adiknya, Raden Katong, bersama Selo Aji dan Kyai Ageng Mirah, untuk menyebarkan Islam di Ponorogo. Setelah melalui berbagai konflik, Bathoro Katong berhasil mendirikan pemerintahan Ponorogo pada 1496 Masehi dan mengembangkan syiar Islam secara damai dan kultural.
Sebagai media dakwah, Bathoro Katong mempertahankan kesenian reyog yang telah berkembang sejak abad ke-13 pada masa Kerajaan Bantar Angin. Reyog kemudian diisi unsur Islam, seperti simbol burung merak yang mematuk tasbih di atas kepala harimau, melambangkan penaklukan Ki Ageng Kutu oleh Bathoro Katong. Islamisasi di Ponorogo pun berlangsung persuasif dengan tetap melestarikan budaya lokal. Strategi ini mirip dengan pendekatan Walisongo yang memanfaatkan wayang sebagai sarana dakwah Islam di Jawa.
Sepanjang sejarahnya, reyog Ponorogo mengalami pasang surut. Pada masa kolonial, kesenian ini sempat dibungkam, tetapi hidup kembali pascakemerdekaan meskipun sempat terpecah karena kepentingan politik. Namun berkat semangat pelestarian, festival reyog digelar, pedoman pelestarian disusun pada 1995, dan pada 2005 reyog diakui UNESCO sebagai warisan budaya. Kini, generasi muda Ponorogo, termasuk mahasiswa UIN Kiai Ageng Muhammad Besari, terus menjaga reyog sebagai warisan budaya dan media dakwah yang selaras dengan ajaran Islam.
Penyebaran Islam di Jawa sudah berlangsung sejak sebelum abad ke-13, terutama melalui jalur perdagangan pesisir utara dan dakwah tokoh-tokoh seperti Walisongo. Dalam perkembangannya, masyarakat Jawa terbagi ke dalam golongan santri yang taat syariat dan golongan abangan yang menggabungkan Islam dengan unsur Hindu-Buddha dan animisme, melahirkan sinkretisme khas Jawa. Kerajaan Demak, Pajang, hingga Mataram berperan besar dalam Islamisasi Jawa. Sultan Agung bahkan mengganti Kalender Saka menjadi Kalender Jawa Islam, menegaskan Islamisasi yang tetap merangkul tradisi lokal.
Tradisi sakralisasi bulan Muharram di Jawa juga menjadi bukti akulturasi Islam dengan budaya setempat. Bulan Muharram, yang di Jawa disebut Suro, melahirkan ritual Suroan seperti tirakatan, kirab Mubeng Beteng, siraman pusaka, hingga larungan ke laut. Masyarakat Jawa juga meyakini adanya pantangan tertentu di bulan Suro, misalnya larangan menikah atau berpesta, karena diyakini sebagai bulan prihatin dan pensucian diri.
Tradisi Suroan menunjukkan akulturasi Islam dan budaya lokal yang harmonis. Moderasi Walisongo memungkinkan Islam tumbuh berdampingan dengan warisan Hindu-Buddha di Jawa tanpa benturan berarti. Dakwah damai, keterbukaan, dan sinkretisme melahirkan tatanan sosial yang rukun, seperti gotong royong dan musyawarah. Dari sini tampak bahwa teori kontinuitas dan perubahan berjalan seiring: ajaran dasar Islam tetap terjaga, tetapi praktik budaya menyesuaikan konteks lokal.
Pidato Prof. Rofiq menegaskan bahwa sejarah adalah guru kehidupan yang mengajarkan pentingnya harmoni, toleransi, dan inovasi. Sikap moderat dan kemampuan beradaptasi menjadi kunci menjaga peradaban tetap lestari. Edukasi moderasi harus terus ditanamkan agar generasi mampu menyeimbangkan tradisi dan perkembangan zaman. Islam sebagai rahmatan lil alamin sepatutnya hadir melalui sikap damai, terbuka, dan adaptif tanpa kehilangan esensi wahyu Ilahi. Dari sejarah Ponorogo, Walisongo, hingga Rustamiyyah, kita belajar bahwa moderasi bukan sekadar sikap tengah-tengah, melainkan strategi merawat nilai lama dan menjawab tantangan baru demi kemaslahatan bersama.