Nusantara tercinta kini telah berkembang pesat dalam berbagai aspek sejak masuknya Islam pada abad ke-7 M. Terlihat jelas bahwa masyarakat beserta seluruh perangkatnya sedang beradaptasi dengan globalisasi yang mendunia. Namun, di tengah proses tersebut, Indonesia mengalami berbagai pergolakan dalam menerima pengaruh asing yang masuk ke masyarakat, yang sangat kental dengan nilai-nilai adat dan istiadat.
Walisongo, sebagai cultural broker di Nusantara dan khususnya pulau Jawa, merupakan pionir sekaligus pencetus harmonisasi antara Islam dengan agama-agama di Nusantara pada masa itu. Abad ke-15 M merupakan masa yang sangat produktif bagi Walisongo, yang gencar melakukan gerakan dakwah. Pada waktu itu, pulau Jawa masih didominasi oleh agama Hindu-Buddha serta beberapa kepercayaan tradisional lainnya.
Salah satu cara harmonisasi serta taktik strategis yang mereka gunakan dalam penyebaran Islam adalah melalui akulturasi budaya setempat dengan penyusupan nilai-nilai tauhid. Walisongo sangat berhati-hati terhadap kultur sosial maupun individu setempat. Kecerdikan dan kebijaksanaan Walisongo melahirkan metode pemahaman khusus yang disesuaikan dengan karakter masyarakat Jawa. Metode ini dikemas dalam tindakan empati yang massif dilakukan.
Penduduk Nusantara pada waktu itu, dengan sifat ramah dan terbuka, menyebabkan mereka dengan mudah menerima agama baru, termasuk Islam. Bahkan, ideologi mereka mulai bergeser hingga menanggapi bahwa semua agama itu benar (sedaya agami niku sae). Ungkapan ini membawa masyarakat untuk berpikir dan bertindak sinkretisme, baik itu sinkretisme agama dengan budaya maupun agama dengan agama. Namun, ideologi ini menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para pakar Islam tentang dampak positif dan negatifnya.
Malik Bennabi berpendapat bahwa sinkretisme agama dengan budaya bersifat menggabungkan dan masih dapat diasimilasikan hingga menjadi suatu sintesis yang utuh. Namun, jika kedua variabel tersebut tidak dapat disatukan, maka hal ini dapat mendorong sinkretisme yang terlarang. Asimilasi agama (legal syncretism) dan budaya adalah tindakan yang digencarkan oleh Walisongo dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Dengan memanfaatkan latar belakang pribumi yang mengagungkan kasta brahmana, gemar mendengar tetembangan dan gending Jawa, Walisongo mampu mengubah seluruh aspek tersebut dengan personal branding sebagai “brahmana”, yang mengubah tetembangan menjadi alunan musik Islami.
Praktik ini terus hidup dan berkembang hingga saat ini. Banyak contoh yang sulit dihitung satu per satu. Beberapa di antaranya seperti nyadran, mitoni, tedhak siten, dan wetonan masih didominasi oleh budaya kejawen, sementara tradisi seperti halal bi halal, ziarah kubur, tahlilan, dan maulidan masih kental dengan nuansa keislamannya.
Sinkretisme dan Nusantara
Kesuksesan Walisongo dalam metode yang mereka terapkan, secara tidak langsung melegitimasi legal syncretism. Melalui metode ini, Islam hidup dan berkembang di tengah masyarakat Indonesia hingga kini. Tradisi dan warisan yang dilakukan Walisongo tetap terjaga, meskipun setelah mereka wafat. Pelestarian ini dilakukan oleh generasi-generasi berikutnya dengan berbagai macam model.
Menurut Saifuddin Zuhri, tradisi dalam agama terbagi menjadi dua bagian: tradisi besar (great tradition) dan tradisi kecil (little tradition). Tradisi besar merujuk pada ortodoksi dan keotentikan ekspresi agama yang berada di pusat, sering kali bersifat tekstual dan universal, dilakukan oleh sebagian kecil komunitas yang tersebar melalui lembaga pengajaran. Sedangkan tradisi kecil, atau little tradition, adalah bentuk heterodoksi dari suatu budaya atau unsur agama tersier, dengan karakteristik bercorak lokal dan sesuai dengan budaya setempat. Elemen budaya menyusup ke dalam agama itu sendiri.
Salah satu transformasi tradisi yang berevolusi akibat pengaruh Islam adalah tahlilan. Bermula dari tanggapan ulama terdahulu terkait sesajen yang ditujukan pada arwah leluhur dan dewa-dewi, ulama mampu memodifikasi ritual ini menjadi sesuatu yang lebih baik. Sesajen biasanya terdiri dari berbagai persembahan seperti nasi gurih, bunga, telur, dan jajanan tradisional. Para ulama kemudian menawarkan tahlilan sebagai pengganti sesajen, dengan tujuan yang sama, yaitu untuk menghubungkan masyarakat dengan leluhur atau Tuhan.
Namun, seiring berjalannya waktu, tahlilan menghadapi tantangan baru. Beberapa praktik, seperti mengadakan tahlilan dengan biaya yang sangat besar atau menguras harta, menciptakan masalah sosial baru. Lantas, apa yang membuat seseorang begitu rela melakukan hal ini? Karakteristik orang Jawa sebagai people pleaser serta tekanan sosial dan agama menjadi latar belakang yang memicu hal ini. Dalam konteks tersebut, tahlilan yang seharusnya sebagai sarana spiritual, justru berubah menjadi ajang materialistis.
Pergeseran orientasi dalam tradisi seperti ini tentu tidak terjadi dalam satu atau dua kasus saja. Ada banyak contoh lain yang lebih kompleks dan beragam, seperti konser shalawatan, tradisi nyadran, dan kultus terhadap kuburan. Contoh-contoh ini menunjukkan bagaimana sinkretisme dapat merusak ritual agama yang murni. Malik Bennabi memperingatkan bahwa sinkretisme, atau bid’ah-bid’ah sosial, harus disaring dan dibersihkan jika sudah merusak. Ia menekankan pentingnya penguasaan ilmu sosiologi Islam untuk menangani dinamika tersebut.
Berbeda dengan Malik Bennabi, Peter L. Berger, seorang sosiologis Amerika, memiliki pandangan unik. Ia berpendapat bahwa tradisi seperti ini adalah proses perkembangan agama. Agama harus mampu melakukan modifikasi ajaran agar dapat menarik minat masyarakat awam. Proses ini disebut coding-decoding-recording, yang melibatkan re-koding simbol-simbol agama agar relevan dengan tuntutan zaman. Hal ini sering kali dianggap sebagai bid’ah, tetapi perlu dilakukan untuk memikat masyarakat agar tidak beralih ke hal-hal negatif lainnya.
Sebagai contoh, Abu Sa’id al-Khadimi (1156 H) dalam karangannya bertajuk Bariqah Mahmudiyyah fi Sharh Tariqah al-Muhammadiyah, menyebutkan bahwa salam kepada orang kafir, yang awalnya dilarang, diperbolehkan dalam situasi tertentu demi kepentingan syiar toleransi. Meskipun tindakan tersebut terkesan naif dan sebagai bid’ah, tetapi langkah ini dinilai efektif dalam memperkenalkan Islam yang lebih ramah kepada masyarakat.
Dewasa ini, Indonesia menghadapi tantangan serba instan yang mempengaruhi pelaku budaya untuk meninggalkan ritual-ritual kuno. Individualisme, pragmatisme, dan materialisme semakin merenggut perhatian pada pelestarian tradisi leluhur. Meskipun masyarakat semakin melek terhadap beberapa praktik berlebihan, terkadang mereka terlalu asal-asalan menjustifikasi semuanya sebagai kesalahan. Namun, akibatnya, beberapa budaya tersebut justru hilang ditelan masa.