Di belakang kampus UIN Sunan Ampel Surabaya, ada sekitar 20 penjual bakso, baik yang keliling maupun rumahan. Ada yang berjualan siang, ada juga yang sore hingga malam. Mahaadil Allah yang telah mengecer rezeki-Nya untuk masing-masing pedagang. Untuk semua yang berusaha memenuhi kebutuhan nafkah keluarganya, Allah mempersiapkan rezeki dengan mekanisme yang berbeda-beda.
Salah satu langganan saya sejak kuliah adalah Bakso Barokah. Dulu keliling, sekarang tidak. Hanya berjualan di depan Gang Modin, Jemur Wonosari, Wonocolo. Berjualan setelah magrib, habis jam 23.00 WIB.
Saya lupa nama asli penjualnya, tapi pelanggannya memanggilnya Cak Barok, atau Cak Barokah. Para santri Pesantren Mahasiswa An-Nur, Wonocolo, yang dibawah asuhan Prof. Dr. KH. Imam Ghazali Said, MA., tentu tidak asing dengan orang Magetan ini. Cak Barok lah yang dulu setiap malam mampir di pondok, lantas diserbu para santri. Benar-benar pemadam kelaparan di malam hari.
Cak Barok orangnya asyik diajak ngobrol. Ngalor ngidul beragam tema. Biasanya saya meriung sambil makan baksonya di malam hari, sembari mendengarkan campursari yang melengking dari sound system yang dia taruh di sisi atas gerobak baksonya.
Salah satu hal yang saya pelajari dari Cak Barokah adalah soal manajemen keuangan. Di Surabaya, di tengah biaya hidup yang lumayan tinggi dan penghasilan yang harus dibagi sedemikian rupa, Cak Barok punya pengaturan keuangan yang baik.
Setelah berjualan, dia menyisihkan modal untuk besok, uang makan, uang kontrakan, cicilan motor dan dana pendidikan anak. Semua dipisahkan. Caranya, dengan memasukkannya di celengan plastik atau menyerahkannya ke istrinya, yang mengaturnya sesuai amanah.
Dengan cara itu Cak Barok tidak kewalahan manakala ada tagihan kontrakan atau cicilan motor, bahkan biaya pendidikan. Ika Fenny Widyawati, anak sulungnya, dia kuliahkan di Siyasah Jinayah, Fak. Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya. Bagi saya ini keren. Di antara sekian banyak penjual bakso dorong gerobak di belakang kampus, setahu saya hanya 3 orang, termasuk Cak Barok, yang punya kesadaran menyekolahkan anaknya hingga kuliah.
Cak Barok berprinsip, orangtua wajib membiayai pendidikan anak setinggi-tingginya, agar kelak anak juga melakukan hal yang sama kepada buah hatinya. “Lek anak wedokku kuliah, mbesok biso ndidik anake kanti apik. Nduwe ilmu…” *Kalau anak perempuan saya kuliah, kelak akan bisa mendidik anaknya dengan baik, karena punya ilmu…” Keren, kan?
Oke. Kembali ke manajemen uang. Dengan menyisihkan dan memisahkan penghasilan dari jualan bakso dan servis kipas angin, dia bisa mengatur keuangan keluarga. Misalnya, untuk cicilan motor, dia mewajibkan dirinya menabung per hari Rp 30.000. sehingga di akhir bulan terkumpul dana Rp 900.000 buat melunasi kredit.
Untuk dana kuliah anak (sekarang sudah lulus), dia mewajibkan dirinya menyisihkan Rp 20.000-25.000 per hari, sehingga dengan perhitungan sederhana, dalam waktu 1 semester, keuangannya sudah cukup untuk membiayai kuliah anaknya. Demikian pula dengan biaya kontrak rumah, dan biaya sekolah anak bungsunya.
Setelah istrinya wafat, Cak Barok mengajari anak sulungnya soal manajerial keuangan ini. Saat ini pola penghematan dan pengaturan tetap sama, hanya manajernya beda. Dulu istrinya, kini anak perempuannya. Tidak heran jika keuangan keluarga kecil ini bisa ditata dengan baik. Untuk persiapan pernikahan anaknya, yang rencananya November mendatang, kebutuhannya juga sudah jauh-jauh hari dipersiapkan oleh dirinya.
Muhammad Saiful Akbar, si bungsu, kini kelas V di MI Al-Karim, Bendul Merisi. Untuk biaya pendidikannya, sejak TK hingga sekarang, Cak Barok mempersiapkan sejak dini. Nominalnya Rp 20.000-25.000 per hari. Jadi, manakala tahun ajaran baru di MI al-Karim, yang membutuhkan Rp 5.000.000 (SPP per bulan selama setahun dan buku-buku), Cak Barok tidak kesulitan, atau berhutang, apalagi memohon keringanan biaya. Sebab, dia sudah mempersiapkan segala sesuatu sesuai takaran dan kebutuhannya.
Saya suka manajemen seperti ini. Rapi dan visioner. Jangkauannya bukan hanya untuk hari ini, atau besok, melainkan beberapa bulan mendatang, dan satu tahun berikutnya.
Kemampuan olah keuangan yang baik ini bukan monopoli kelas sosial tertentu. Ada banyak orang kaya yang kesulitan dalam pengaturan finansial, sehingga ketika menghadapi badai ekonomi langsung ambruk. Depresi. Sebaliknya, ada juga kelas sosial menengah yang dari sisi penghasilan juga pas-pasan, namun bisa efektif mengelola pendapatan.
Dari sini saya teringat buku yang disunting Gerry Van Klinken, “In Search of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota-Kota Menengah” (Jakarta: Obor, 2016). Buku ini menyuguhkan fenomena kelas menengah perkotaan di Indonesia. Standar penghasilan, gaya hidup, pola pikir, hingga corak pekerjaan. Kaum urban yang sedikit melangkah dari: warga pedesaan yang hidup di kota dan harus melakukan penyesuaian dalam ekonomi, sosial dan politik di tengah kultur kapitalis yang mencengkeram perkotaan. Soal ini, kapan-kapan kita diskusikan.
Dari Cak Barok saya belajar. Penghasilan bisa sama, tapi kecerdasan finansial bisa berbeda-beda. Nominal pendapatan bisa sedikit, tapi jika dikelola dengan efektif, hasilnya juga berdampak positif. Rezeki memang sudah diatur, tapi cara meraihnya bisa berbeda-beda. Dan, yang paling penting: sejauh mana kita bisa bersyukur atas rezeki yang dilimpahkan oleh-Nya.
Suwun, Cak Barok!