Dalam beberapa waktu terakhir, Masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kasus penemuan jasad gadis penjual gorengan di Padang, Pariaman, Sumatera Barat (6/09/2024). Penemuan jasad tersebut tentunya merupakan hal yang tidak biasa, sebab korban ditemukan dalam kondisi terikat tanpa busana dan ditemukan tanda kekerasan pada jasad korban.
Kasus pembunuhan terhadap perempuan tidak kali ini saja terjadi; telah ditemukan banyak kasus pembunuhan perempuan dengan berbagai motif. Meskipun dalam banyak kasus memiliki berbagai motif, terdapat satu kesamaan: perempuan adalah korban.
Epidemi Global
Berdasarkan data dari PBB, kasus tertinggi pembunuhan perempuan dalam lima tahun terakhir terjadi pada tahun 2022 dengan 89 ribu kasus pembunuhan perempuan yang disengaja. Dari jumlah tersebut, sebanyak 48.800 kasus dilakukan oleh orang dekat mereka. Dengan kata lain, lebih dari setengah kasus pembunuhan perempuan dilakukan oleh pelaku yang mereka kenal bahkan dekat dengan mereka.
Di Indonesia, setelah rentetan kasus kekerasan perempuan yang terus meningkat, Komnas Perempuan melalui siaran pers menyampaikan bahwa kasus indikasi femisida mengalami tren peningkatan. Secara berurutan, tahun 2020 terpantau 95 kasus, 2021 terpantau 237 kasus, 2022 terpantau 307 kasus, dan pada 2023 terpantau 159 kasus (07/05/2024).
Gelombang kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di seluruh dunia mendesak PBB untuk menjadikan femisida sebagai pandemi global. Artinya, PBB mempertimbangkan pengklasifikasian femisida—pembunuhan perempuan dan anak perempuan karena jenis kelamin mereka—sebagai krisis kesehatan masyarakat yang memerlukan perhatian dan tindakan segera di tingkat internasional.
Pengakuan femisida sebagai epidemi global akan memungkinkan alokasi sumber daya yang lebih besar, peningkatan kesadaran, dan implementasi kebijakan yang lebih efektif untuk menangani dan mencegah kekerasan berbasis gender ini di seluruh dunia.
Femisida dan Kurangnya Perspektif Gender
Dalam sebuah penelitian berjudul “Femisida dan Sanksi Hukum di Indonesia” oleh Siti Zulaichah, femisida diartikan sebagai pembunuhan terhadap perempuan dengan alasan beberapa faktor, di antaranya: perempuan dianggap sebagai pihak yang lemah, kebencian terhadap perempuan, perempuan hanya sebatas pemuas seks, serta perempuan dianggap sebagai objek yang dapat dimiliki.
Kebencian terhadap perempuan telah lama dijelaskan oleh para pemikir feminis Islam. Misalnya, Fatimah Mernissi dalam karya klasiknya, Beyond the Veil: Male-Female Dynamics in Muslim Society (1971), menjelaskan bahwa institusi keagamaan mereproduksi kebencian atau ketakutan terhadap perempuan dengan istilah fitnah. Pelabelan perempuan sebagai sumber fitnah memberikan deskripsi bahwa perempuan adalah objek yang perlu dikuasai atau ditundukkan, alih-alih untuk dijaga. Dengan demikian, kebencian atau ketakutan terhadap perempuan dapat berujung pada tindakan lebih mengerikan, yaitu femisida yang hampir menjangkit seluruh dunia.
Permasalahan femisida ini bukan hanya urusan “degradasi moral” semata, tetapi juga permasalahan kurangnya perspektif gender dalam penegakan hukum. Dalam hal ini, pemerintah memiliki tugas untuk menetapkan peraturan guna melindungi hak-hak perempuan yang terabaikan dan memberikan perlindungan kepada perempuan dengan menetapkan undang-undang yang adil dan sesuai.
Melalui artikel dari Komnas Perempuan, dapat diketahui bahwa pemerintah kurang memberi perhatian serius terkait femisida dan masih dipandang sebagai tindakan kriminal biasa. Hal tersebut dapat dilihat melalui perilisan tulisan oleh Komnas Perempuan berjudul “Alarm bagi Negara dan Kita Semua: Hentikan Femisida” yang setelah dua tahun dirilis, namun masih belum ada perubahan hukum terkait femisida.
Dalam ranah hukum, aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) belum memahami secara komprehensif terkait isu gender. Hal tersebut mengakibatkan ketidakmampuan mengenali nuansa femisida dalam kasus-kasus yang terus terjadi. Sehingga, sering kali kasus yang muncul hanya dilihat dari sudut pandang hukum pidana umum dan mengabaikan konteks gender.
Jalan Keluar
Melihat ekskalasi kasus femisida yang terus meningkat, kita perlu mencari jalan keluar dari gelombang epidemi global ini. Selain pembenahan dalam ranah hukum dan penegakan hukum, masyarakat memiliki peranan penting dalam melaksanakan peraturan dan undang-undang yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Disini, negara dan masyarakat harus bekerja sama agar tercipta lingkungan yang aman dan nyaman bagi perempuan.
Selain itu, penting untuk menanamkan pendidikan perspektif gender sejak dini dalam masyarakat. Hal ini bertujuan untuk membangun pemahaman tentang kesetaraan diantara semua orang. Prinsip dasarnya adalah bahwa setiap individu memiliki hak yang setara, tanpa memandang ras, suku, agama, atau gender mereka.
Kita perlu mengingat bahwa pada hakikatnya, perempuan dan laki-laki diciptakan untuk saling melengkapi. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri. Tujuannya bukan untuk saling menguasai atau agar satu gender mendominasi yang lain, melainkan untuk menciptakan keseimbangan dan kerja sama.
Penting bagi perempuan untuk memiliki kemampuan melindungi diri guna menghindari femisida. Para perempuan perlu berhati-hati dan tidak mudah percaya pada orang lain, bahkan pada orang terdekat, terutama saat berhadapan dengan orang yang baru dikenal.
Namun, perlu ditekankan bahwa upaya perlindungan diri ini tidak menghapuskan tanggung jawab bersama dalam mengatasi masalah femisida. Femisida adalah masalah global yang serius dan menjadi tanggung jawab semua pihak, termasuk pemerintah, aparat penegak hukum, tokoh agama, dan masyarakat umum. Semoga bumi ini cepat pulih dari epidemi femisida dan menjadi tempat yang ramah bagi perempuan. Amin.
Ilustrator: Aiska Safna Fitri