Harakah al-Muqāwamah al-Islāmiyyah (Hamas) memang bagian dari IM. Ini fakta. Namun, menganalisis konflik internal Hamas dengan Faksi Jihad Islam dan Fatah sembari mengabaikan brutalitas tindakan Israel merupakan sebuah kenaifan. Di Indonesia sendiri, pada awal revolusi kemerdekaan, terdapat banyak faksi, sebagaimana yang kita jumpai di Palestina saat ini. Ada kelompok Islamis, Nasionalis, dan Komunis. Meskipun terdapat perbedaan ideologis yang signifikan, mereka memiliki musuh yang sama.
Selama mencermati tulisan beberapa orang yang dianggap cendekia ketika mengomentari penjajahan Israel atas Palestina, ada satu hal yang menggelitik. Mereka cenderung mengabaikan pendapat Edward W. Said, cendekia agnostik kelahiran Palestina yang berdiaspora di Amerika, serta mengesampingkan suara lantang Noam Chomsky, intelektual Yahudi paling berpengaruh dalam aksi penentangan atas zionisme.
Bagi saya, Edward Said lebih dari sekadar penggerak teori Poskolonialisme. Dia berpihak pada bangsanya. “Out of Place” yang dia tulis lebih dari sekadar memoar. Buku itu adalah jeritan kepedihan atas penjajahan sekaligus suara kerinduan pada tanah airnya. Buku ini menjadi bagian dari cara dia mewariskan ingatan kepada bangsanya, sekaligus meneguhkan konsistensinya. “Out of Place” dan “Orientalism”, dua buku karya Said, dapat dijadikan sebagai pilihan untuk membuka Kotak Pandora: mengapa banyak intelektual yang bias dalam melihat realitas yang terjadi antara Israel dan Palestina? Mengapa mereka bungkam dan tidak bersuara?
Said memang elegan. Dia mencintai tanah airnya, meskipun tetap bereaksi keras atas dugaan korupsi di elit pemerintahan Palestina, sebagaimana yang kita jumpai dalam beberapa wawancaranya yang tampak emosional menjelang akhir hayatnya.
Buku “Tārīkh Falastin al-Hadīts” merupakan karya intelektual-pejuang Palestina, Abdul Wahhāb al-Kayyali. Sama seperti Said yang meneroka lika-liku bangsanya dan nasib dirinya dalam “Out Of Place”, al-Kayyali juga menganalisis dari perspektif historis sebagaimana judulnya. Dia menulis buku ini saat berada di Lebanon. Rencana awal buku ini akan ditulis dalam dua jilid, namun hanya selesai jilid pertama karena penulisnya telah wafat.
Guru saya, Prof. Dr. KH. Imam Ghazali Said, mengulas kitab ini selama Ramadan kemarin. Saya menikmati ulasan beliau, baik dalam kajian teks maupun konteks. Beliau membaca per teks, mengulasnya dengan bahasa kekinian, sekaligus mengaitkannya dengan kajian sosiologis-kultural bangsa Arab. Beliau juga sesekali memberi tekanan pada pertanyaan-pertanyaan seperti “Apa yang seharusnya dilakukan oleh kita untuk Palestina?” dan “Mengapa tanah ini menjadi sumber konflik selama ratusan tahun?”, serta pertanyaan lain yang sifatnya kritis dan tajam, misalnya tentang kesalahan atas kekalahan negara Arab saat berperang melawan Israel.
Pengasuh Pesantren Mahasiswa An-Nur Wonocolo Surabaya ini mengkajinya bersama para santri dan menyajikannya secara langsung di Facebook Pesma An-Nur. Saya biasanya menyimak sambil menyetir, kadang sambil menikmati kopi, dan seringkali sambil bersantai dengan tetap mencatat beberapa keterangan dari beliau.
Al-Kayyali, penulis buku ini yang terbunuh secara misterius pada tahun 1981, mempersembahkan karyanya ini bagi rakyat Palestina dan para martir sebagaimana yang dia tulis dalam mukadimahnya. Menelaah karya al-Kayyali, salah satu tokoh penting PLO ini, harus dilakukan karena suara Palestina harus didengar dari orang dalam (inward looking), bukan dari orang asing yang datang dengan kepentingan masing-masing.
Sebagaimana karya Said, karya ini layak dibaca sebagai telaah historis atas Palestina. Bukan saja karena penulisnya adalah “orang dalam”, tetapi juga untuk menghindari bias dalam melihat kezaliman yang berlangsung secara sistematis dan berkepanjangan ini.
Al-Kayyali memang tidak sepopuler Syekh Izzuddin Al-Qassam, Syekh Amin al-Husseini, Yasser Arafat, George Habash, Syekh Ahmad Yassin, Ramadan Shalah, hingga Mahmoud Darwish, tetapi karyanya ini menarik untuk dikaji.