Akhir-akhir ini sangat miris media sosial memperlihatkan kondisi hukum di Indonesia, terutama dengan ditangkapnya 3 Hakim di Pengadilan Jakarta Pusat karena kasus suap oleh perusahaan terkait pemberian fasilitas ekspor minyak sawit. Walaupun hal semacam ini bukan yang pertama kali terjadi. Namun dengan terulangnya kejadian ini menunjukan betapa bobroknya kondisi hukum di Indonesia yang dilakukan oleh aparat yang terpersonifikasi dengan kata “Oknum”.
Kasus perkasus yang mencuat ke permukaan sudah tidak lagi menjadi aib personal melainkan refleksi dari sistem yang rapuh. Tatkala lembaga peradilan dijadikan sarang mafia, keadilan melalui ketukan palu tidak lagi menjadi penanda mana yang salah dan mana yang benar melainkan siapa yang paling membayar mahal.
Bernardus Maria Taverne anggota Hakim Agung Belanda pernah mengatakan “Berikan Aku Hakim, Jaksa, Pengacara yang baik, niscaya aku akan memberantas kejahatan walaupun tanpa Undang-undang sekalipun”. Kata-kata ini menunjukan bahwa penentu dari baiknya penegakan hukum bukan dari aspek undang-undang semata, namun juga sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh manusia (good person) dalam hal ini dari aparat penegak hukumnya (APH).
Secara legal formal dalam proses penegakan hukum sudah diatur mengenai tugas pokok dan fungsi masing-masing aparat penegak hukum dengan peranan diferensiasi fungsional (tugas sesui perannya masing-masing; polisi sebagai penyelidik dan penyidik, Jaksa sebagai penuntut dan Hakim yang menentukan dan memutuskan hasil perkara).
Lembaga Peradilan diharapkan menjadi penentu terakhir dari para pencari keadilan dan finalisasi dari setiap perseteruan yang tidak kunjung usai, namun nyatanya dengan kasus tertangkapnya Hakim yang sering bermunculan di media massa menjadikan institusi yang begitu dihormati ini menjadi momok yang sering menyakiti nurani publik dan bahkan menjadikan stigma tersendiri sehingga objek didalamnya terkesan bersifat transaksional.
Dibalik Penyebutan Kata Yang Mulia
Dalam praktik persidangan Hakim sangatlah dihormati dan diagungkan, hal ini dapat kita saksikan dengan panggilan “Yang Mulia” yang selalu disematkan kepada Majelis Hakim dalam sidang perkara. Walaupun penyebutan ini sudah dilarang sejak dulu oleh TAP MPRS Nomor 31 tahun 1996 namun masih melekat dan digunakan sampai sekarang. Bahkan dengan peran Hakim memutus perkara, profesi Hakim tidak tanggung-tanggung disebut sebagai “Sang Wakil Tuhan” di dunia. Tentu tidak akan berekspektasi demikian tinggi, jika “Yang Mulia” dengan gelar yang begitu agung sewaktu-waktu tertangkap karena menerima suap dari perkara yang sedang ditangani.
Keluhuran profesi-institusi akan menjadi buruk ketika aparat-nya tidak menjalani fungsi dan peran sebagaimana mestinya seperti Hakim yang kemudian diasosiasikan sebagai maling ketika menerima suap dan gratifikasi. Menurut catatan Indonesian Corruption Watch (ICW) dari tahun 2011- 2024 jumlah Hakim yang tertangkap karena terlibat korupsi mencapai 29 orang, kasus suap terbesar yang dilakukan oleh Gazalba Saleh (MA) dengan suap 65 Miliar.
Oliver W, Holmes dalam The Historic Role Oath of Admission disebutkan pernah mengatakan It feels, what I believe to be the truth, that of all secular professions this has the highest standards. Setiap profesi pasti memiliki standar yang harus dipegang agar tetap terjaga kehormatannya terutama bagi profesi hukum seperti Aparat Penegak Hukum (APH) termasuk Hakim sebagai penentu keadilan suatu perkara. Maka seharusnya dibalik penyebutan yang mulia perlu didasarkan kepada etika profesi yang luhur yang mencakup; keberanian berbuat dan bertekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi, kesadaran akan kewajibannya, memiliki prinsip atau idealisme yang kuat dalam mengemban amanah profesinya.
Gaji Tinggi Tidak Menjamin Bersih
Kampanye Presiden dalam perhelatan Pilpres tahun lalu adalah meningkatkan gaji pegawai termasuk Aparat Penegak Hukum hal ini merupakan bentuk ikhtiar Presiden Prabowo Subianto untuk meminimalisir upaya curang atau perilaku korupsi. Kampanye tersebut mulai terealisasi setelah adanya cuti selama 5 hari mulai 7 s/d 11 Oktober 2024 oleh seluruh Hakim di Indonesia dengan menuntut kenaikan gaji, sehingga Rp 12-20 triliun disiapkan untuk menaikan gaji dan tunjangan Hakim; Gaji baru: Rp 2,7-5,3 juta. Tunjangan: Rp 11,9-56 juta. Namun tidak berselang lama 4 Hakim ditangkap karena gratifikasi.
Terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan tetap melakukan kecurangan termasuk menerima suap antaralain pragmatis, sistem yang belum memadai, dan serakah. Banyak orang yang ingin menempuh jalur fast track untuk memenuhi pundi-pundi pendapatan, sehingga berbagai cara dilakukan termasuk melanggar hukum, ditunjang dengan sistem yang belum memadai (Buruk) dimana setiap aspek dari bawah sampai tingkat atas agar mudah diakses harus mengeluarkan uang. Dan keserakahan yang tidak memiliki batas sehingga sebanyak apapun yang didapatkan tetap merasa kurang dan potensi melakukan penyalahgunaan wewenang kerap terjadi.
Menaikakn gaji Hakim untuk menghindari perbuatan korupsi bukanlah tindakan yang linear apalagi sekarang tunjangan Hakim sangatlah besar. Terdapat beberapa hal yang saya kira perlu dilakukan untuk meminimalisir perbuatan korupsi Aparat Penegak Hukum (APH) terutama Hakim. yang pertama diadakannya rekrutmen secara ketat dan berintegritas, kedua pengawasan publik, yang ketiga pengenaan sanksi berat dan efek jera.