“Aku ingin sekali menjadi manusia yang berpengetahuan.”
Kalimat itu bukan berasal dari tokoh fiksi atau motivator zaman kini. Itu adalah penggalan surat Raden Ajeng Kartini yang ditulis lebih dari satu abad lalu. Dalam kalimat sederhana itu tersembunyi satu hal yang sering luput dari perbincangan tentangnya: Kartini adalah pembaca yang tekun, pemikir yang kritis, dan perempuan yang berani membentuk pikirannya lewat buku-buku yang sebagian besar ditulis dalam bahasa asing.
Kartini lahir dari keluarga bangsawan Jawa, dan meskipun sempat merasakan pendidikan di sekolah Eropa, tradisi feodal tetap membatasi langkahnya. Di masa pingitan, saat ia dikurung di rumah demi adat istiadat ia tidak pernah menyerah atau pasrah. Justru, hal tersebut membuatnya semakin bersemangat dalam membaca, merenung, dan menyusun pemikiran. Buku-buku menjadi jendela dunianya, dan surat-suratnya adalah refleksi dari bacaan yang ia cerna secara tajam.
Beberapa penulis besar muncul dalam surat-surat Kartini, seperti Multatuli penulis Max Havelaar yang mengecam kolonialisme Belanda; Emerson, seorang filsuf asal Amerika yang menekankan kebebasan berpikir; hingga pujangga Jerman, Goethe, yang penuh kontemplasi. Bacaan-bacaan ini bukan sekadar hiburan, melainkan membentuk cara Kartini menilai masyarakatnya dan menyadari ketidakadilan terutama terhadap perempuan Jawa yang hidup dalam tekanan ganda: kolonialisme dan patriarki.
Kini kita mengenal istilah literasi kritis kemampuan tidak hanya membaca teks, tetapi juga memahami konteks, mempertanyakan isinya, bahkan mengkritiknya. Inilah yang dilakukan Kartini jauh sebelum istilah itu populer. Ia tidak hanya membaca, tetapi berdialog dengan isi bacaan, merefleksikannya dalam realitas Jawa yang ia alami. Ia mengkritik pendidikan kolonial yang diskriminatif dan adat-istiadat yang membelenggu perempuan.
Dalam salah satu suratnya kepada Abendanon, ia menulis dengan getir, “Adakah yang lebih menyedihkan daripada melihat seorang perempuan berpendidikan, namun tak berdaya karena adat atau aturan?”
Ini bukan hanya keluhan pribadi ini adalah pertanyaan politis yang lahir dari perenungan mendalam. Membaca membuat Kartini menyadari ketimpangan, dan menulis menjadi cara ia melawan.
Hari ini, kita hidup dalam keadaan banjir informasi. Namun, ironisnya, kemampuan membaca secara kritis justru menurun. Banyak orang lebih percaya pada judul yang bombastis ketimbang isi, atau menyebarkan hoaks tanpa memverifikasi. Padahal, semangat Kartini yang mengupas isi buku dan mempertanyakannya adalah bentuk literasi yang paling kita butuhkan saat ini.
Apa artinya membaca jika hanya untuk menambah pengetahuan tanpa makna?
Kartini membaca bukan untuk menjadi pintar, tetapi untuk menjadi bebas. Ia membaca bukan karena hobi, tetapi karena kebutuhan. Di balik keterbatasannya, ia menunjukkan bahwa membaca bisa menjadi bentuk perlawanan yang paling senyap, tetapi berdampak.
Kini kita punya akses ke jutaan buku, artikel, dan sumber pengetahuan di ujung jari. Tapi, apakah kita punya keberanian seperti Kartini untuk membaca dengan hati dan berpikir dengan kritis? Di Hari Kartini ini, mungkin cara terbaik untuk merayakannya bukan hanya dengan kebaya, tetapi juga dengan membuka buku, merenung dalam-dalam, dan menulis ulang dunia dengan pemikiran yang merdeka.