Pada Senin, 10 Oktober 2022 M / 14 Rabiul Awal 1444 H, kitab “Qiṣah al-Ashrāf wa Ibn Sa’ūd” karya Prof. Dr. ‘Ali al-Wardī selesai dikaji dan dibaca dan diterjamahkan dengan bahasa Indonesia di hadapan santri mahasiswa mustawa rabi’ Pesantren Mahasiswa An-Nur. Kitab ini sangat menarik karena menghadirkan dua tokoh utama dalam sejarah Islam di awal abad ke-20, yaitu Raja Syarif Husein bin Ali (1856-1931 M), penguasa Kerajaan Hijaz, dan Abdul Aziz bin Abd Rahman Alu Sa’ud (1875-1953 M), pendiri Kerajaan Arab Saudi.
“Kitab putih” ini memberikan perspektif yang mendalam tentang pergulatan kekuasaan dan perbedaan visi antara dua tokoh tersebut. Raja Syarif Husein mewakili otoritas tradisional Islam yang berakar pada legitimasi historis dan spiritual, sementara Raja Abdul Aziz merepresentasikan kekuatan baru yang menggabungkan legitimasi agama dengan kekuatan militer. Pertarungan antara keduanya berujung pada runtuhnya Kerajaan Hijaz dan berdirinya Kerajaan Arab Saudi pada tahun 1932.
Bagi saya, ada dua poin penting yang dibahas dalam kitab ini. Pertama, konteks sejarah global pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, di mana para santri dari Nusantara menuntut ilmu di Kawasan Hijaz. Masa ini ditandai dengan krisis politik global, seperti runtuhnya Dinasti Utsmaniyah, meletusnya Perang Dunia I dan II, serta tumbangnya sistem kekhalifahan di Istanbul. Dalam kondisi inilah muncul dua tokoh santri jebolan Mekkah, yaitu KH Ahmad Dahlan (1868-1923 M) yang mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada tahun 1912, dan KH Hasyim Asy’ari (1871-1947 M) mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. Kemunculan dua organisasi Islam di Indononesia ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh krisis global yang melanda dunia Islam pada masa itu.
Kedua, kitab ini juga mengungkap fakta menggelitik bahwa praktik perbudakan (jual-beli manusia) masih dilakukan oleh Raja Syarif Husein dan Raja Abdul Aziz hingga pertengahan abad ke-20. Praktik ini dianggap legal dan sah menurut ketentuan Al-Qur’an, Sunnah, dan hasil ijtihad para fuqaha klasik. Fakta ini menunjukkan pentingnya pembacaan kritis terhadap teks-teks keagamaan klasik dalam konteks kekinian, serta perlunya upaya reinterpretasi yang terus-menerus dalam terang pemikiran kontemporer.
Qiṣhah al-Ashrāf wa Ibn Sa’ūd karya Prof. Dr. ‘Ali al-Wardi ini memberikan pelajaran berharga tentang kompleksitas sejarah Islam di awal abad ke-20. Beliau mengajak kita untuk bersikap kritis dan reflektif dalam memahami warisan sejarah, serta kreatif dan visioner dalam merumuskan masa depan Islam yang lebih progresif, inklusif, dan humanis. Oleh karena itu, kitab ini sangat penting untuk dibaca oleh para akademisi, kiai, dan santri, agar dapat mengambil hikmah dari pergulatan masa lalu dan berkontribusi positif bagi peradaban Islam yang lebih cerah di masa depan. Wallahu a’lam.