Berdoa adalah salah satu bentuk ibadah yang paling mendasar. Melalui doa, kita tidak hanya menyampaikan permohonan dan harapan, tetapi juga membangun kedekatan dengan Allah, Sang Pencipta. Doa menjadi sarana bagi kita untuk menunjukkan kerendahan hati, mengakui kelemahan diri, dan menegaskan keyakinan akan kuasa-Nya. Pentingnya berdoa dengan cara yang benar telah diuraikan, yang mengingatkan kita untuk selalu menjaga keikhlasan, ketulusan, dan kesungguhan dalam setiap doa yang kita panjatkan.
Berikut beberapa cara untuk berdoa dan mengingat Allah dengan benar:
Pentingnya Berdoa dengan Khusyuk dan Ikhlas
Allah berfirman:
وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَى رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ (89) فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَى وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ (90)
Dan ingatlah akan hamba Kami, Zakaria, ketika ia menyeru Tuhannya: ‘Ya Tuhanku, janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik.’ Maka Kami memperkenankan doanya dan Kami anugerahkan kepadanya Yahya dan Kami memperbaiki isterinya. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami. (QS. Al-Anbiya: 89-90)
Ayat ini mengisahkan tentang Nabi Zakaria yang berdoa kepada Allah untuk diberikan keturunan. Zakaria memohon kepada Allah dengan penuh keikhlasan, harap, dan cemas, serta dengan keyakinan bahwa hanya Allah yang dapat memenuhi kebutuhannya. Pengabulan doa Zakaria ini menunjukkan bahwa doa yang tulus dan ikhlas, yang dilakukan dengan rasa khusyuk dan disertai amal saleh, memiliki kekuatan besar untuk mendatangkan rahmat Allah. Dalam kehidupan sehari-hari, penting bagi kita untuk mengikuti contoh Nabi Zakaria, yaitu berdoa dengan penuh ketulusan dan keyakinan kepada Allah. Kesadaran akan kehadiran Allah dalam setiap aspek kehidupan dan pengharapan akan rahmat-Nya harus senantiasa menjadi motivasi dalam setiap doa yang kita panjatkan.
Menghindari Riya’ dalam Ibadah
Allah berfirman:
ٱدْعُوا۟ رَبَّكُمْ تَضَرُّعًۭا وَخُفْيَةًۭ ۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلْمُعْتَدِينَ
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-A’raf: 55)
Allah menekankan pentingnya berdoa dengan rendah hati dan secara rahasia. Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas, yaitu mereka yang berdoa dengan sikap sombong atau ingin dilihat oleh orang lain (riya’). Riya’ adalah salah satu dosa besar dalam Islam karena menghilangkan keikhlasan yang seharusnya menjadi landasan setiap ibadah. Berdoa adalah bentuk komunikasi langsung dengan Allah, dan harus dilakukan dengan penuh kerendahan hati. Ketika berdoa, kita harus menyadari betapa kecilnya diri kita di hadapan kebesaran Allah dan menghindari segala bentuk pamer atau keinginan untuk dipuji oleh orang lain. Doa yang disertai niat yang murni dan ikhlas adalah doa yang paling disukai oleh Allah.
Menjaga Ketenangan dan Kesederhanaan dalam Berdoa
Dalam sebuah hadits, diriwayatkan oleh Abu Musa:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّىٰ اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةٍ فَأَشْرَفُوا عَلَىٰ وَادٍ فَجَعَلَ النَّاسُ يُكَبِّرُونَ وَيُهَلِّلُونَ وَيَرْفَعُونَ أَصْوَاتَهُمْ، فَقَالَ: “يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَرْبَعُوا عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا، إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ
Nabi SAW berada di sebuah peperangan, lalu mereka sampai di sebuah lembah, dan orang-orang mulai bertakbir dan bertahlil dengan suara keras. Nabi SAW bersabda: ‘Wahai manusia, kasihani diri kalian, karena kalian tidak sedang menyeru kepada yang tuli atau yang tidak ada. Sesungguhnya kalian sedang menyeru kepada Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat, dan Dia bersama kalian. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari)
Dalam hadits ini, Nabi Muhammad SAW mengingatkan para sahabat agar tidak berlebihan dalam mengangkat suara ketika berdoa. Allah itu dekat dan selalu mendengar doa kita, sehingga tidak perlu mengeraskan suara untuk memastikan doa kita sampai kepada-Nya. Hadits ini juga mengajarkan tentang pentingnya ketenangan dan kesederhanaan dalam berdoa. Berdoa dengan suara yang tenang dan tidak berlebihan menunjukkan keyakinan kita bahwa Allah selalu mendengar dan memahami setiap keinginan kita, bahkan yang tidak terucapkan sekalipun. Kesederhanaan dalam berdoa juga mencerminkan kerendahan hati dan ketergantungan kita sepenuhnya kepada Allah.
Menghindari Sikap Berlebihan dalam Ibadah
Nabi SAW juga memperingatkan bahwa akan ada di antara umat ini orang-orang yang melampaui batas dalam bersuci dan berdoa:
إِنَّهُ سَيَكُونُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الطُّهُورِ وَالدُّعَاءِ
Sesungguhnya akan ada dalam umat ini orang-orang yang melampaui batas dalam bersuci dan berdoa.
Nabi Muhammad SAW memperingatkan umatnya untuk tidak berlebihan dalam ibadah, termasuk dalam hal bersuci (wudhu) dan berdoa. Sikap berlebihan (ghuluw) dalam ibadah dapat mengarah pada pemahaman yang salah tentang agama dan bahkan dapat menjadi sumber fitnah. Dalam konteks bersuci, misalnya, seseorang tidak perlu menggunakan air secara berlebihan atau melakukan wudhu berkali-kali dengan alasan takut wudhunya tidak sah. Demikian pula dalam berdoa, kita harus tetap berada dalam batasan yang diajarkan oleh Nabi SAW, yaitu dengan tidak memaksakan atau memperumit ibadah yang sebenarnya sederhana. Sikap moderat dan seimbang dalam ibadah adalah kunci untuk mencapai keridhaan Allah dan menjaga kesucian niat dalam setiap amal ibadah kita.
Pelajaran dari Kisah Nabi Ayub
Sabar dan Doa dalam Kesulitan. Allah juga memberikan pelajaran penting melalui kisah Nabi Ayub AS, yang tetap bersabar dan berdoa meskipun menghadapi ujian yang sangat berat:
وَأَيُّوبَ إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ أَنِّي مَسَّنِيَ الضُّرُّ وَأَنتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ (83) فَاسْتَجَبْنَا لَهُ فَكَشَفْنَا مَا بِهِ مِن ضُرٍّ ۖ وَآتَيْنَاهُ أَهْلَهُ وَمِثْلَهُم مَّعَهُمْ رَحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَذِكْرَىٰ لِلْعَابِدِينَ(84)
Dan ingatlah akan Ayub, ketika ia menyeru Tuhannya: ‘Sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua yang penyayang.’ Maka Kami kabulkan doanya, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipatgandakan jumlah mereka, sebagai suatu rahmat dari Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Kami. (QS. Al-Anbiya: 83-84)
Kisah Nabi Ayub AS adalah contoh nyata bagaimana seorang hamba Allah menghadapi ujian dengan penuh kesabaran dan keteguhan hati. Nabi Ayub mengalami penderitaan fisik yang luar biasa dan kehilangan harta benda serta keluarganya, namun ia tidak pernah berhenti berdoa dan berserah diri kepada Allah. Dalam doanya, Nabi Ayub dengan penuh ketulusan memohon pertolongan Allah, mengakui bahwa hanya Allah-lah yang Maha Penyayang dan yang dapat meringankan penderitaannya.
Ketika Allah melihat kesabaran dan keteguhan hati Nabi Ayub, Allah mengabulkan doanya, mengangkat penderitaannya, dan mengembalikan segala yang telah hilang kepadanya dengan berlipat ganda. Hal ini menunjukkan bahwa Allah selalu mendengar doa-doa hamba-Nya, terutama mereka yang bersabar dalam menghadapi cobaan. Bagi kita, kisah ini mengajarkan bahwa dalam menghadapi kesulitan, kita harus tetap berdoa dengan penuh keyakinan dan kesabaran. Tidak ada ujian yang Allah berikan melebihi kemampuan hamba-Nya, dan dengan kesabaran serta doa yang ikhlas, Allah akan memberikan jalan keluar dari setiap kesulitan. Kisah ini juga mengingatkan kita bahwa rahmat Allah sangat luas dan mengganjar setiap hamba yang bersabar dengan pahala yang besar.
Penjelasan ini diuraikan berdasarkan kajian Kitāb ‘Amal al-Yawm wa al-Laylah li Ibn al-Sunnī.