Nidal Alfqaawy, seorang penyair berasal dari Khan Yunis yang rumah, perpustakaan, dan “retret puisi” miliknya telah dibakar oleh penduduk Israel
Sembilan hari dan delapan malam di Rafah. Aku mundur sepuluh kilometer ke selatan dari lokasi pembantaian. Pembantaian Khan Yunis, yang akan menimpa semua orang, sama seperti yang terjadi di Gaza dan wilayah utara. Aku mundur – semoga Tuhan mengampuniku atas penarikan taktis ini – untuk menyelamatkan jiwa, karena aku tak lagi memiliki apa yang tersisa.
Sembilan hari aku tidur di jalanan, setelah melewati negosisasi yang sulit dengan orang-orang untuk meyakinkan mereka yang tidak aku inginkan dari Israel. Namaku Nidal Alfqaawy. Seorang penyair. Hahaha. Seorang penyair tidak membunuh kecuali ketika anaknya kelaparan. Syukurlah aku memiliki biskuit dan secuil roti di dalam ransel. Satu hal yang tak kumiliki adalah tempat untuk tidur. Ini bukanlah sebuah masalah bagi seorang penyair, namun istriku mengandung dengan usia kandungan delapan bulan. Dan anakku, Adam, tentu tidak akan menjadi seorang penyair setelah melalui semua ini.
Pada hari keempat, aku menemukan tempat yang penuh sesak untuk Adam dan ibunya yang sedang hamil. Terimakasih, Tuhan. Aku tetap tinggal, sekolah-sekolah penuh sesak dan tidak menerima seorang pria lajang. Orang-orang takut padamu dan tidak mengizinkanmu untuk tidur di trotoar milik Tuhan seorang diri.
Anda harus menjelaskan siapa diri anda, sebutkan siapa saja kenalan anda, dan mendapat panggilan melalui telepon untuk mengatakan: Ya, ya, Nidal Alfqaawy, benar, benar, biarkan dia tidur disana, aku mengenalnya dengan baik, kamu sangat memalukan jika meninggalkannya di jalanan… (panggilan terputus).
Akhirnya, aku dapat tidur seorang diri di jalan tanpa khawatir tentang Adam dan ibunya – sungguh berkah!
Pada pagi hari, aku mendengar: Jangan kembali kesini lagi malam ini, menjauhlah dari sini…
Aku memang mengatur urusanku; temanku Mahmoud, yang juga seorang penyair, menjemputku pada pukul sepuluh malam, ketika aku sedang melakukan negosiasi dengan orang-orang untuk tidur di trotoar mereka.
Dia memberitahuku melalui telepon: Pergilah ke setiap sudut Masjid Al-Salam. Disana banyak orang-orang yang terlantar.
Sungguh mengerikan!!! Pesawat terbang melintas diatas kepalaku, dan jalanan terlihat begitu lengang. Menandakan bahwa aku sudah sangat terlambat, aku harus segera mengemas barang-barangku dan pergi menuju masjid untuk menumpang tidur.
Aku berbaring di dekat pintu dan tertidur seperti seekor serigala, dengan satu mata terbuka. Oh, betapa malam terasa sangat lama.
Pada malam yang penuh teror ini, adzan subuh adalah hal terindah yang dapat aku dengar. Ini adalah arti secara harfiah dan kiasan dari panggilan salat; suatu penegasan bahwa malam benar-benar telah berakhir, penegasan bahwa fajar telah tiba, mendekati siang hari.
Saat kaki melangkah menuju tempat wudhu, aku berlari menghampiri teman sesama penyair, Saed Al-Swairki, yang juga seorang wartawan saluran berita “Russia Today”. Kami menghibur satu sama lain, kemudian menuruni anak tangga, sama-sama menggelengkan kepala tanpa saling bicara.
Aku menunaikan salat subuh bersama orang-orang, menunggu suara pertama ketukan langkah kaki keledai pada aspal, dan segera meninggalkan masjid menuju tempat yang entah.
Malam ini, aku akhirnya mendapatkan pabrik mebel untuk tidur. Terimakasih Tuhan.
Aku berbaring diatas tanah, di antara tumpukan kayu, memikirkan tentang Nabi Nuh:
Wahai Nuh
Dari segala penjuru, air datang
Dan kau tidak tenggelam
Wahai Nuh
Layaknya dirimu, hanya dengan bahtera kayu
Aku akan selamat dari badai api
Penerjemah: Chilyatuz Zakkiyah.
Sumber: www.gazapassage.com