Menyoal historiografi Indonesia, beberapa waktu lalu, muncul sebuah upaya yang dilakukan oleh sekelompok habib untuk merekonstruksi narasi sejarah Indonesia. Upaya itu tak hanya menimbulkan pertanyaan mengenai akurasi historis, tetapi juga secara destruktif, berimplikasi pada pengaburan sejarah pembentukan identitas nasional Indonesia.
Salah satu aspek penting yang dapat dicermati, adalah kecenderungan beberapa tokoh habib untuk menonjolkan peran mereka sebagai tokoh penting dalam sejarah perjuangan bangsa. Paradoks yang muncul kemudian, adalah bahwa bukti-bukti historis justru menunjukkan bahwa sejumlah tokoh habib pada masa kolonial memiliki afiliasi yang lebih erat dengan pemerintah Belanda daripada dengan gerakan nasionalis Indonesia. Fakta ini sering kali diabaikan—atau bahkan disembunyikan?—dalam narasi sejarah yang dibangun oleh beberapa habib di masa kini.
Habib dan Kolonialisme Belanda
Kasus Habib Usman bin Yahya, misalnya, yang menjabat sebagai Mufti Batavia pada era kolonial, merupakan contoh konkret. Meskipun diakui sebagai ulama berpengetahuan luas, kedekatan Habib Usman dengan penguasa kolonial sering dianggap sebagai bentuk dukungan tidak langsung terhadap sistem penjajahan, yang bertentangan dengan semangat perlawanan para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Contoh lain juga dapat dilihat pada kasus Sultan Abdul Hamid II dari Pontianak. Meskipun dikenal sebagai perancang lambang negara Garuda Pancasila, sikapnya selama Agresi Militer Belanda Kedua pada tahun 1948 pun kontroversial. Abdul Hamid II dianggap lebih memilih bekerja sama dengan Belanda daripada mendukung perjuangan Republik Indonesia, sebuah sikap yang oleh banyak pihak, dinilai sebagai pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan. Para habib yang terlibat dalam dukungan terhadap kolonialisme Belanda seharusnya tidak dijadikan tokoh panutan, apalagi jika peran mereka dimanipulasi untuk menjadi cerita kepahlawanan.
Makam dan Kontestasi Pengaruh Sosio-Politik
Lebih lanjut, fenomena pengklaiman makam tokoh non-habib sebagai makam keramat para habib juga semakin membuat runyam permasalahan ini. Praktik tersebut tidak hanya merupakan bentuk penyelewengan sejarah personal, tetapi juga mencerminkan upaya sistematis untuk memperkuat legitimasi spiritual dan sosial kelompok habib tertentu. Pengklaiman ini sering dilakukan untuk meningkatkan daya tarik spiritual atau legitimasi makam tersebut sebagai situs ziarah, yang secara tidak langsung berdampak pada peningkatan status sosial dan ekonomi pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan makam.
Hal ini tentu dapat dengan mudah dinilai, bahwa motif di balik fenomena ini mengarah pada upaya mempertahankan dan memperluas pengaruh sosio-politik. Gelar habib, yang secara tradisional membawa otoritas moral dan sosial dalam masyarakat Indonesia, dimanfaatkan sebagai instrumen untuk membangun narasi yang menguntungkan kepentingan kelompok tertentu.
Fenomena ini tak ayal menimbulkan pertanyaan kritis mengenai etika historiografi dan tanggung jawab sosial tokoh-tokoh agama dalam masyarakat. Sebagai tokoh yang dihormati, para habib seharusnya bertanggung jawab untuk menjaga kebenaran sejarah dan tidak memanipulasi atau menyembunyikan fakta demi keuntungan pribadi. Manipulasi ini tidak hanya merugikan masyarakat, tetapi juga mencederai kepercayaan yang selama ini diberikan kepada mereka.
Ancaman terhadap Identitas Nasional
Jika pelencengan sejarah ini terus berlanjut, dampaknya bisa sangat merusak bagi identitas nasional Indonesia. Sejarah yang telah dimanipulasi tidak hanya akan mengaburkan pemahaman tentang masa lalu, tetapi juga bisa memicu konflik sosial yang berkepanjangan. Ketika generasi mendatang memegang versi sejarah yang keliru, kita berisiko kehilangan warisan budaya dan identitas yang sebenarnya.
Pengklaiman makam-makam ini juga berpotensi menciptakan ketergantungan irasional terhadap figur-figur yang dikultuskan. Pengkultusan tokoh-tokoh historis yang didasarkan pada narasi sejarah yang tidak akurat dapat menghambat perkembangan pemikiran kritis dalam masyarakat. Banyak masyarakat yang kemudian terjebak dalam pola pikir mistis dan tidak rasional, yang pada gilirannya dapat menghambat perkembangan intelektual dan spiritual yang sejati.
Tanggung Jawab Menjaga Integritas Sejarah
Menjaga kebenaran sejarah adalah tanggung jawab seluruh elemen masyarakat, termasuk para habib yang memiliki pengaruh besar. Jika upaya pelencengan sejarah, termasuk pengklaiman makam sebagai situs keramat, terus berlanjut, kita tidak hanya akan kehilangan pemahaman yang jujur tentang masa lalu, tetapi juga akan membahayakan masa depan identitas nasional kita. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk tetap waspada dan berupaya menjaga integritas sejarah Indonesia.