Dalam beberapa waktu terakhir, masyarakat Indonesia kembali dikejutkan dengan berbagai peristiwa hukum yang mencederai rasa keadilan publik. Fenomena hukum yang dikenal sebagai “tajam ke bawah, tumpul ke atas” menjadi semacam realitas yang menyakitkan, tetapi tak kunjung diselesaikan. Mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan kerap kali tampak lebih tenang menghadapi persoalan hukum, seolah uang bisa menjadi tameng yang melindungi dari jerat keadilan. Di tengah momentum peringatan Hari Lahir Pancasila, pertanyaan besar pun muncul: masihkah sila kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, menjadi tolok ukur dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Salah satu kisah yang menggambarkan rapuhnya nilai keadilan dan kemanusiaan di negeri ini adalah peristiwa menyedihkan yang dialami seorang nenek yang tertangkap mencuri bawang di pasar. Berdasarkan laporan dari detikJateng, Kapolsek Ngemplak, AKP Widarto, menyatakan bahwa nenek tersebut sudah beberapa kali melakukan hal serupa sehingga warga, merasa geram, akhirnya bertindak sebagai hakim jalanan. Nenek itu dianiaya secara fisik hingga darah mengucur dari kepalanya. Tindakan main hakim sendiri ini jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang beradab, dan mencerminkan hilangnya rasa empati serta kontrol diri di tengah masyarakat. Meski sang nenek bersalah, proses hukum tetap harus ditegakkan sesuai prosedur, bukan dengan kekerasan yang merendahkan martabat kemanusiaan.
Mirisnya, ketimpangan hukum semakin jelas terlihat saat kita membandingkan kasus tersebut dengan kondisi para koruptor yang tertangkap tangan mencuri uang negara dalam jumlah fantastis. Tidak jarang kita mendengar kabar bahwa mereka menikmati fasilitas mewah di balik jeruji penjara ruang tahanan yang menyerupai hotel, hak istimewa dalam pelayanan, hingga perlakuan yang seolah lebih menghormati mereka sebagai “tamu negara” dibandingkan sebagai pelanggar hukum. Bahkan, hukuman yang mereka terima seringkali tidak sebanding dengan kerugian negara dan penderitaan masyarakat yang timbul akibat tindakan mereka. Cukup dengan mengembalikan sebagian uang dan membayar denda, mereka bisa melenggang seolah tak terjadi apa-apa. Sementara itu, rakyat kecil yang mencuri demi bertahan hidup justru harus menerima perlakuan kejam tanpa belas kasih.
Ketimpangan perlakuan hukum ini memperlihatkan adanya krisis nilai yang sangat mendasar. Sila kedua Pancasila menekankan pentingnya perlakuan adil dan beradab terhadap sesama manusia, tanpa memandang status sosial, ekonomi, atau jabatan. Namun kenyataannya, prinsip ini kerap kali hanya menjadi slogan tanpa implementasi nyata. Mereka yang memiliki akses terhadap kekuasaan dan kekayaan seringkali menjadi “manusia istimewa” yang mendapat perlakuan khusus, sedangkan rakyat kecil harus berhadapan dengan kerasnya realitas hukum. Ironisnya, justru mereka yang paling rentan dan membutuhkan perlindungan hukumlah yang paling sering menjadi korban ketidakadilan.
Di tengah kondisi seperti ini, Pancasila terancam kehilangan makna sejatinya. Jika hukum bisa dibeli dan keadilan hanya berpihak kepada yang kuat, maka Pancasila tidak lagi menjadi panduan moral dan dasar negara yang dihormati. Krisis kepercayaan terhadap lembaga hukum pun semakin meningkat. Masyarakat mulai mempertanyakan kepada siapa mereka bisa berharap, jika aparat penegak hukum saja bisa disuap oleh lembaran uang yang terselip di bawah kasur. Rasa keadilan yang seharusnya menjadi pilar utama kehidupan berbangsa pun perlahan-lahan memudar di hadapan praktik-praktik yang tidak beradab dan menyimpang dari nilai luhur bangsa.
Namun, harapan belum sepenuhnya hilang. Generasi muda Indonesia memiliki peran penting untuk mengembalikan kembali roh Pancasila ke dalam kehidupan nyata. Pendidikan bukan hanya soal ilmu pengetahuan, tetapi juga soal pembentukan karakter, moral, dan rasa keadilan. Generasi muda harus dibekali dengan kesadaran kritis dan keberanian untuk memperjuangkan keadilan, bukan sekadar menghafal nilai-nilai Pancasila tanpa memahami maknanya. Mereka harus menjadi agen perubahan yang menjaga agar sila kedua tidak hanya hidup dalam teks, tetapi juga dalam tindakan dan kebijakan.
Kini adalah saat yang tepat untuk merefleksikan kembali, apakah kita benar-benar menjadikan Pancasila sebagai landasan dalam bertindak? “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” tidak hanya soal perlakuan terhadap pelanggar hukum, tetapi juga tentang bagaimana sistem dan masyarakat secara keseluruhan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan secara merata. Jika nilai ini kembali ditegakkan dan dijadikan panduan hidup dalam setiap lini kehidupan, maka Indonesia masih memiliki peluang untuk menjadi bangsa yang benar-benar beradab dan bermartabat, seperti yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa.