Kontestasi pemilu 2024 sudah tinggal menghitung hari lagi. Seperti tahun-tahun sebelumnya, koalisi partai berlomba-lomba meraup suara dengan berbagai cara. Dalam hal ini, tidak sedikit sosok Kyai menjadi incaran pencari kursi. Sebutan Kyai sering kali identik sebagai sapaan orang NU terhadap orang yang memiliki ilmu keagamaan lebih dari orang-orang biasa. Memang secara substansi sama definisinya seperti Ustadz, Buya, atau Syaikh.
Pada umumnya, seorang Kyai memiliki pesantren, sebuah tempat di mana seorang Kyai mengajarkan beberapa kitab kuning dan ritual keagamaan kepada santrinya. Kyai menjadi seorang role model bagi santrinya. Tersebab Kyai tidak lain adalah Waratsatul Anbiyā’, dalam keseharian, seorang Kyai merepresentasikan akhlak dan perilakunya sebagai representasi dari ajaran yang dibawa oleh Nabi terdahulu.
Kyai merupakan sosok guru dalam ilmu Zhahir sekaligus Bathin. Dalam perannya, seorang Kyai tidak hanya berkiprah dalam lingkungan pesantren semata, bersamaan dengan itu Kyai juga sering diminta kehadirannya oleh masyarakat setempat sebagai Problem Solver atas masalah-masalah partikular yang dialami oleh masyarakat dalam kesehariannya.
Kyai adalah sesosok orang yang dengan tulus dan ikhlas mendedikasikan hidupnya sebagai Khādim Al-Ummah (Pelayan Umat). Bisa dibilang bahwa rumah seorang Kyai senantiasa terbuka untuk umat selama sehari penuh untuk masyarakat dengan berbagai keluh kesah dan curahan hatinya. Kyai dipandang sebagai sumber inspirasi dan legitimasi tidak hanya pada lingkup permasalahan publik tetapi juga pada masalah-masalah privat seperti pemilihan pekerjaan, pendidikan hingga jodoh.
Bahkan di satu keadaan, keputusan kyai terhadap suatu hal dianggap sebagai mutlak dan tak terbantahkan, sehingga seolah ada kewajiban bagi seorang pengikutnya untuk mengikuti apa yang telah seorang Kyai katakan.
Dalam tradisi pesantren hal ini tidak menjadi masalah. Hal tersebut merupakan suatu bentuk kepercayaan santri akan barakah dari Kyai-nya. Bagi santri, seorang guru lebih tahu akan kondisi dirinya dibandingkan dirinya sendiri sehingga keputusan guru secara etika tidak boleh dibantah. Lebih pastinya, hal itu dapat dirujuk langsung dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim karya Az-Zarnuji.
Dalam mengemban amanah berat dari agama, dalam rangka penyebaran Dakwah, sosok Kyai menerapkan berbagai strategi, salah satunya adalah politik. Secara historis, terwujudnya kemerdekaan Indonesia tidak lepas dari jasa Kyai di masanya. Jika dahulu Kyai berpolitik karena memiliki musuh bersama yaitu kolonialisme, saat ini Kyai lebih dihadapkan pada persoalan kapitalisme dan modernisme.
Peran besar seorang Kyai ini terekam pada zaman orde baru, kala itu Rais ‘Aam NU, KH. Bisri Syamsuri melakukan penolakan terhadap Undang-undang Perkawinan yang sedang dirancang kala itu, Kyai Bisri beranggapan bahwa beberapa pasal dalam Undang-undang tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, sehingga kala itu Kyai Bisri dan seluruh anggota PPP kompak untuk melakukan penolakan.
Tidak hanya itu, dedikasi Kyai Bisri terhadap Islam terus berlanjut. Pada kontestasi pemilu di tahun 1977, rezim orde baru gencar-gencarnya memberikan tekanan untuk memilih Golkar, para politikus NU lah yang saat itu paling frontal dan berani untuk memprotes keras. KH. Bisri dengan jabatannya di PPP sebagai Rais ‘Ām Majelis Syuro memberikan fatwa wajib hukumnya orang islam untuk memilih PPP.
Puncak konflik terjadi saat Sidang Umum MPR 1978, kala itu NU dan PPP sepakat untuk meninggalkan ruangan sidang secara bersamaan, karena negara berencana membuat program indoktrinasi yang isinya upaya untuk merelativitas agama, sehingga akhirnya konflik berakhir saat Munas NU Tahun 1983 dan Muktamar NU ke 27 tahun 1984 di Situbondo.
Pada Pilpres tahun 2019, misalnya, para Kyai NU mengambil sikap untuk mendukung salah satu Paslon: koalisi Jokowi-Ma’ruf Amin. Gus Yahya selaku Ketua PBNU, menyayangkan hal itu karena NU dijadikan senjata politik oleh salah satu Paslon. Pada Pilpres lalu, hal itu berdampak sangat besar terhadap pemilihan presiden dikarenakan wakil presidennya adalah KH. Ma’ruf Amin yang saat itu merupakan orang NU. Di lain sisi, beberapa tokoh seperti KH. Miftahul Akhyar, Wakil Rais ‘Ām mengajak warga NU untuk kompak dalam pilihan politiknya.
Di pemilu 2024 ini saya memandang bahwa peran Kyai malah cenderung dimanfaatkan oleh setiap koalisi, walaupun Gus Yahya di pemilu tahun 2024 mengaku netral. Meskipun begitu, mengaca dari pemilu 2019, agaknya para koalisi partai menyadari betul seberapa berpengaruhnya sosok Kyai dalam meraup suara masyarakat dan santri.
Dalam perkembangan terakhir, Paslon nomor dua Prabowo dan Gibran memasukkan Habib Lutfi dalam tim pemenangan koalisinya, dengan dalih mereka butuh nasihat tentang kebangsaan, kehormatan, dan agama. Abuya Muhtadi, Kyai asal Banten menyatakan dukungannya kepada Paslon nomor tiga Ganjar dan Mahfudz. Paslon ketiga merangkul Gus Imin yang merupakan anak Muhammad Iskandar yang masih memiliki ikatan keluarga dengan Gus Dur sekaligus guru pondok pesantren Manba’ul Ma’arif.
Dengan karakteristik seorang Kyai dan tradisi di pesantren, peran mereka patut dipertimbangkan oleh setiap koalisi guna menggaet dukungan masyarakat dan santri. Dengan demikian, pemilu 2024 akan menjadi panggung di mana Kyai menjadi arus utama dalam mengambil keputusan dan memengaruhi arah dukungan suara.
1 Comment