Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November, merupakan momentum penting bagi kaum santri di bumi Nusantara. Bagi mereka, peristiwa bersejarah ini bukan semata-mata peringatan hari pahlawan nasional, melainkan puncak dari perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia yang diawali dengan fatwa ‘keras’ KH. Hasyim Asy’ari pada 17 September 1945 untuk berjihad membela tanah air dari ancaman penjajahan.
Dalam konteks ini, penyebutan ‘pahlawan’ dalam kacamata santri tidak terbatas pada pejuang yang gugur di medan pertempuran fisik melawan penjajah semata. Gelar ini juga mencakup mereka yang mengorbankan nyawanya untuk membela agama Islam dari segala bentuk ancaman. Bagi para syuhada’ yang wafat dalam jihad fi sabilillah, gelar mulia ‘syahid’ menjadi kehormatan tertinggi yang dinanti.
Fatwa Jihad yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang sekaligus Rais Akbar Nahdhatul Ulama (NU) kala itu, tidak hanya menjadi bukti komitmen para ulama Nusantara terhadap perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Lebih dari itu, fatwa tersebut mencerminkan pemahaman yang mengintegrasikan antara Islam dan nasionalisme sebagai dua konsep yang saling memperkuat, bukan saling bertentangan.
Semangat nasionalisme justru dianggap sebagai bagian integral dari ajaran Islam itu sendiri. Pemahaman ini kemudian dimanifestasikan dengan Resolusi Jihad fi Sabilillah yang diputuskan pada 22 Oktober 1945. Inisiatif bersejarah ini, yang kemudian diakui pada 2015 sebagai Hari Santri Nasional, mengukuhkan keterkaitan erat antara peran kaum santri, organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama (NU), dan perjuangan merebut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Meski pemahaman tentang peran kaum santri dalam perjuangan kemerdekaan belum secara luas tercatat dalam buku-buku sejarah resmi pemerintah Indonesia, pun belum diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan formal, bukan berarti hal tersebut dapat diabaikan begitu saja. Justru, hal ini menjadi tanggung jawab besar bagi kaum santri untuk menyosialisasikan sejarah perjuangan mereka sendiri.
Upaya sosialisasi ini dapat dimulai dari internal lingkungan pesantren-pesantren yang berafiliasi dengan NU, lalu diperluas ke komunitas yang lebih luas. Dengan memberikan pemahaman yang utuh tentang kontribusi besar kaum santri dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, diharapkan kesadaran akan peran penting mereka dapat tersebar luas dan mengisi celah sejarah yang mungkin belum terakomodasi secara baik dalam pelajaran formal selama ini.
Generasi muda, yang merupakan penerus tongkat estafet perjuangan bangsa, akan dapat lebih memahami dan menghargai kontribusi kaum santri dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal tersebut juga untuk memahamkan, bahwa akar nilai keagamaan dan kebangsaan sejatinya saling menguatkan dan tidak kontradiktif. Dua hal tersebut—Islam dan Nasionalisme—justru bersinergi dalam membentuk karakter dan jati diri bangsa Indonesia yang agamis dan nasionalis sejak awal kelahirannya.
Dengan demikian, ingatan kolektif tentang perjuangan kaum santri dalam merebut kemerdekaan akan tetap terjaga dan terwariskan dari generasi ke generasi. Semangat para pejuang terdahulu akan terus membara, menginspirasi generasi masa kini dan masa depan untuk senantiasa menjaga serta membela tanah air dari segala ancaman yang menghadang.
Wallahu a’lam.