Dua pekan lalu, saya melihat sebuah reels video yang lewat di beranda Instagram, pesannya kira-kira begini, “Tuhan kamu baik, ya, kamu dipanggil setiap hari.” Tampak dari video tersebut, seorang nonmuslim yang tengah berdiri melihat teman-teman muslimnya sedang menunaikan salat. Cuplikan video after-nya, teman nonmuslim tersebut akhirnya bersyahadat. Di kolom komentar ramai sekali ucapan hamdalah, apresiasi gegap gempita akan datangnya hidayah, dll. Berbeda halnya ketika seorang muslim yang berpindah agama ke agama lain. Ragam komentarnya pun dipenuhi sumpah serapah atas keputusannya dan bahkan membawa-bawa neraka. Terutama, ia ramai dicap sebagai seorang yang tidak mendapatkan hidayah Allah SWT.
Fenomena konversi agama merupakan hal lumrah yang terjadi di masyarakat kita, apalagi bangsa kita memiliki karakter masyarakat heterogen. Meskipun konversi agama ini bersifat pribadi, namun tak jarang menuai pro dan kontra dari kalangan keluarga, masyarakat, bahkan warganet sekalipun. Perlu digarisbawahi, bahwasanya seseorang yang akan berpindah keyakinan tentunya melalui proses perubahan pemikiran dan pergolakan batin yang mesti dihargai. Maka sikap toleransi dan menghargai ini yang terkikis dari kita, saat melihat fenomena perpindahan agama seseorang berulang kali terjadi.
Kita Perlu Bijak Memahaminya
Grand Syekh al-Azhar, Syekh Ahmad al-Thayyib, dalam orasi keagamaannya dalam forum Interfaith and Intercivilizational Reception, yang digelar oleh PBNU pada tahun 2024, menyampaikan pesan perdamaian di hadapan para pemuka agama. Ia mengatakan, bahwa Islam merupakan agama yang terbuka terhadap agama, aliran, dan menghormati agama lain. Dalam ajaran ini, terdapat spirit persatuan dan hidup berdampingan dengan agama lain. Artinya, bahwa identitas muslim yang sesungguhnya tidak hanya terlihat dari atribut dan ritual saja, melainkan sikap yang ia utarakan di depan publik.
Tentu orasi Grand Syekh al-Azhar menjadi catatan penting bagi umat Islam. Perbedaan keyakinan, aliran, dan bahkan politik pun, merupakan suatu keniscayaan yang mesti disikapi dengan sikap arif. Teks-teks suci, baik dari al-Quran dan Hadis pun, menyerukan untuk membangun hubungan baik dengan umat agama lain. Spirit toleransi yang ada di dalam teks suci agama Islam, hanya menjadi pesan kosong, apabila tidak dipahami dan diejawantahkan dengan baik oleh pengikutnya. Terutama membaca peristiwa konversi agama yang sering terjadi di sekitar kita.
Terjadinya konversi agama seseorang, tidak mungkin terjadi dengan alasan yang sederhana. Beberapa faktor pendorong seseorang berpindah agama dinilai jadi penentu sikap yang diambilnya di kemudian hari. Menurut Mukti Ali, Menteri Agama RI, konversi agama terjadi disebabkan oleh empat faktor pendorong. Di antaranya yakni, pertama faktor keluarga. Dimana ketika di dalam lingkup keluarga tersebut terdiri dari penganut agama yang berbeda-beda. Nilai-nilai agama yang diterapkan masing-masing anggota keluarga, menjadi cerminan seseorang untuk mengambil keputusan di kemudian hari.
Kedua, faktor pendidikan. Seseorang ketika menempuh pendidikan, terutama pendidikan agama, tentu banyak sekali muncul pertanyaan-pertanyaan yang terbersit dalam hatinya. Lingkungan pendidikan cukup mempengaruhi atas jawaban yang dicari oleh seseorang dalam mempertimbangkan keputusan. Faktor ketiga, yaitu lingkungan. Banyak terjadi peristiwa konversi agama di lingkungan yang ditempati, baik lingkungan masyarakat, lingkungan kerja, maupun kondisi sosial serta ekonomi yang dihadapi oleh seseorang.
Faktor keempat, adalah perubahan status seseorang. Di kalangan masyarakat kita, salah satu contoh yang cukup sering terjadi adalah persoalan pernikahan, perceraian, perubahan pekerjaan, dan lainnya. Semisal, ketika seseorang hendak menikah dengan pasangan yang beda agama, ada satu kesempatan terjadi konversi agama di antara mereka. Sebagian pakar menyebutkan, bahwa faktor penentu lainnya adalah kegelisahan yang menimpa hidup seseorang, sehingga ia mendapatkan petunjuk dari Tuhan.
Peristiwa konversi agama bukanlah sebuah peristiwa baru di dalam sejarah umat Islam. Justru, peristiwa ini pernah terjadi di masa-masa awal Rasulullah SAW tiba di Madinah. Dikisahkan bahwa di Madinah terdapat sebuah keluarga harmonis yang memiliki dua anak, ia adalah Abu Hushain dari kalangan Anshar. Pada suatu hari, datanglah rombongan pedagang dari Syam yang beragama Nasrani. Selain berdagang, mereka juga menyebarkan ajaran Nasrani kepada penduduk Madinah. Kedua anak Abu Hushain ini menyimak ajaran tersebut, hingga akhirnya mereka berdua tertarik dan memeluk agama Nasrani. Bahkan mereka akan migrasi ke Syam.
Setelah melihat peristiwa tersebut, Abu Hushain merasa sedih sekali, lalu ia berinisiatif mengadu ke Rasulullah SAW. Di hadapan Rasulullah SAW, ia menumpahkan segala kesedihan atas keputusan kedua anaknya yang berpindah agama. Di tengah-tengah obrolannya, ia dengan tegas meminta khusus agar Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk mengembalikan kedua anaknya secara paksa ke dalam agama Islam. Melihat peristiwa tersebut, Allah SWT kemudian menurunkan sebuah ayat di QS. Al-Baqarah: 256, “Tidak ada paksaan dalam beragama (Islam).”
Setelah Rasulullah SAW menerima ayat yang baru saja turun, beliau tersenyum dan menjelaskannya kepada Abu Hushain. Beliau juga tidak memerintah umat Islam untuk memerangi atau membunuh kedua anak Abu Hushain, karena bagaimana pun Rasulullah SAW menyayangi mereka atas nama kemanusiaan meski berbeda keyakinan. Dari respons Rasulullah SAW, Islam menampakkan identitasnya sebagai agama yang tidak ada unsur paksaan untuk memeluknya. Tidak satu kata pun keluar dari sabdanya untuk melaknat dan mencaci keputusan kedua anak Abu Hushain, karena hidayah Allah merupakan hak prerogatif-Nya.
Memang seorang anak lahir sesuai fitrahnya, sebagaimana hadis Rasulullah SAW. Para ulama Islam menakwilkan frasa fitrah ini adalah beragama Islam. Tentunya, kelanjutan hadis tersebut, “Orang tuanyalah yang menjadikannya ia seorang pemeluk agama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Redaksi hadis ini cukup jelas, bahwa pendidikan karakter yang diajarkan oleh orang tua memiliki pengaruh dalam keberagamaan seorang anak kelak ketika menginjak fase remaja. Sebagaimana yang diterapkan oleh Nabi Ibrahim AS dan Lukman al-Hakim saat mendidik putranya, yakni pembekalan ajaran akidah nan kokoh dan nilai-nilai moral.
Pada bagian ini, orang tua memiliki peran lebih dalam mengarahkan anak-anaknya. Rasulullah SAW pernah berdoa berkali-kali kepada Allah SWT untuk memberikan hidayah kepada Abu Thalib. Dalam doa-doa tersebut, Allah SWT menjawab doa Rasulullah SAW, bahwa hidayah itu wilayah kekuasaan-Nya. Peristiwa ini menjadi sebab turunnya QS. Al-Qashash: 56, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi hidayah kepada orang yang engkau kasihi. Tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki…”
Peristiwa yang dialami oleh Rasulullah SAW, dalam persoalan konversi agama, menjadi pengingat atas sikap kita hari ini. Dimana Islam hadir bukan sebagai agama yang kaku dan memaksa semua orang untuk memeluknya. Justru, kepada orang muslim yang keluar dari Islam pun, Rasulullah SAW tidak semerta mendiskriminasi kehidupannya, terutama dalam interaksi sosial. Berbagai pemikiran absurd dan tindakan diskriminatif merespons peristiwa tersebut, justru mencederai petunjuk yang telah diwariskan oleh Rasulullah SAW dalam beragama. Catatan merah seperti inilah yang sulit dihapuskan hingga saat ini oleh sikap kita semua.