Bulan Rajab telah tiba, bertepatan dengan datangnya tahun baru. Sebagaimana masyarakat pada umumnya mengharapkan perubahan pada tahun yang berganti, alangkah baiknya bulan Rajab menjadi salah satu perantaranya. Disifati dengan bulan mahram, menjadikannya bulan yang memiliki keistimewaan dari selainnya mahram. Kemuliaannya menjadikan tidak sedikit kaum Muslim merasakan nuansa dan euforia berlomba-lomba dalam kebaikan.
Perlombaan ini diisi dengan berbagai macam ibadah, seperti berpuasa, doa-doa khusus dan lain-lain. Laksana perlombaan pada hakikatnya, tentu tiada yang bersifat mengikat bagi para Muslim, sehingga berkonsekuensi dosa apabila ditinggalkan. Ibadah sunnah mengakuisisi suatu masa justru merupakan suatu hal yang perlu diapresiasi, memandang kekosongan waktu cenderung menjerumuskan pada kemaksiatan penuh sensasi.
Meskipun ibadah sunnah di bulan Rajab membawa banyak berkah, beberapa orang justru menganggapnya sebagai bentuk bidah. Ada keraguan di masyarakat mengenai sahih tidaknya amaliyah bulan Rajab yang sering kali diiringi dengan ajakan untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Namun, perlu dipahami bahwa pembagian bidah dalam pandangan Ahlusunnah wal Jamaah memiliki dua kategori: bidah yang tercela dan bidah yang tidak tercela. Dalam hal ini, ibadah puasa pada bulan Rajab, meskipun tidak ada kewajiban, masuk dalam kategori yang tidak tercela selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.
Namun, amaliyah ini tidak terlewatkan dari label bidah yang diujarkan. Ujaran atau opini ini telah menimbulkan keresahan serta keraguan di tengah-tengah masyarakat. Awamnya masyarakat percaya dengan anggapan bidah tersebut, tentu dengan doktrin yang kuat. Padahal, belum tentu doktrinnya mampu menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari amaliyah yang telah ada.
Kalangan Ahlusunnah wal Jamaah sendiri mengklasifikasikan bidah menjadi dua, secara garis besar. Pertama, bidah tercela. Bidah yang berupa perbuatan yang menyalahi Al-Qur’an, al-Sunnah, dan perbuatan sahabat Nabi Muhammad Saw, dan konsensus ulama. Kedua, bidah yang tidak tercela, yaitu perbuatan-perbuatan baik yang tidak menyalahi hal-hal di atas. Tatanan ini telah ada sejak abad ke-10 H.
Pemikiran penulis melanglang buana pada suatu kaidah yang menggambarkan realitas zaman kini. Ketika KH. Bahauddin Nursalim berkata, bahwa tidur merupakan ibadah, karena hal tersebut merupakan aksi meninggalkan maksiat, penulis di momen itu sadar akan mudahnya Islam untuk dijalankan. Ingatan saya merujuk pada suatu kaidah fikih yang berbunyi:
وَمَا لَا يدْرك كُله لَا يتْرك كُله
“Suatu hal yang tidak dapat dilakukan secara total, maka tidak dapat ditinggalkan secara total juga.”
Kaidah ini masyhur digunakan secara tersirat maupun tersurat oleh para ulama terdahulu. Syaikh Waliyullah al-Dahlawi, Syaikh Abu Said al-Khadimi al-Hanafi, dan Muhammad bin Allan al-Asyari al-Makki secara jelas berideologi dengan kaidah ini dalam karyanya.
Hadirnya kaidah ini tidak serta-merta menyebabkan legitimasi amaliyah bulan Rajab, masih banyak dalil serta argumen lain terkait hal ini. Namun, dalil-dalil tersebut yang kerap kali ditolak mentah-mentah dengan kaum tekstualis. Terlepas dari itu, perlu adanya pelurusan persepsi dan jalan pikir terkait legitimasi syariat atas amaliyah ini.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa mayoritas dalil hadis Nabi Muhammad Saw. mengenai amaliyah Rajab adalah hadis yang dhaif, bahkan hadis yang membahas keutamaannya hampir divonis palsu. Meskipun demikian, sebagian ulama memperbolehkan dengan landasan yang dapat dipertanggungjawabkan juga. Berikut penjelasan terkait keabsahan dan legitimasi amaliyah bulan Rajab.
Hadis riwayat Muslim nomer indeks 1157 dengan redaksi,
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ نُمَيْرٍ، ح وحَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ حَكِيمٍ الْأَنْصَارِيُّ، قَالَ: سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ جُبَيْرٍ، عَنْ صَوْمِ رَجَبٍ وَنَحْنُ يَوْمَئِذٍ فِي رَجَبٍ فَقَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، يَقُولُ: ” كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ: لَا يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ: لَا يَصُومُ “
Hadis ini secara jelas menunjukkan Rasulullah pernah berpuasa pada saat bulan Rajab dalam kurun waktu yang jarang. Hadis ini sahih, sebagaimana ia termaktub dalam kitab Shahih Muslim. Hadis serupa juga diriwayatkan oleh Abu Daud, Ahmad, dan al-Baihaqi.
Secara umum, puasa pada bulan-bulan haram (bulan yang dimuliakan) adalah suatu kesunnahan yang termaktub dalam sunnah Nabi Muhammad Saw. Berikut salah satu redaksi hadis terkait tersebut:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ قَالَ: حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنِ الْجُرَيْرِيِّ، عَنْ أَبِي السَّلِيلِ، عَنْ أَبِي مُجِيبَةَ الْبَاهِلِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، أَوْ عَنْ عَمِّهِ، قَالَ: أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ أَنَا الرَّجُلُ الَّذِي أَتَيْتُكَ عَامَ الْأَوَّلِ، قَالَ: «فَمَا لِي أَرَى جِسْمَكَ نَاحِلًا؟» قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَكَلْتُ طَعَامًا بِالنَّهَارِ، مَا أَكَلْتُهُ إِلَّا بِاللَّيْلِ، قَالَ: «مَنْ أَمَرَكَ أَنْ تُعَذِّبَ نَفْسَكَ؟» قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَقْوَى، قَالَ: «صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ، وَيَوْمًا بَعْدَهُ» قُلْتُ: إِنِّي أَقْوَى، قَالَ: «صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ، وَيَوْمَيْنِ بَعْدَهُ» قُلْتُ: إِنِّي أَقْوَى، قَالَ: «صُمْ شَهْرَ الصَّبْرِ، وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ بَعْدَهُ، وَصُمْ أَشْهُرَ الْحُرُمِ
“….berpuasalah pada bulan sabar (Ramadan), dan 3 hari pascanya serta pada bulan-bulan haram.”
Hadis ini juga diriwayatkan oleh beberapa ulama lain, seperti Abu Daud, Ahmad, al-Nasa’i, al-Thabrani, dan lain-lain. Menurut al-Albani -yang merupakan salah satu ulama dari firqah salafi- menilai hadis ini daif dengan adanya ketidakjelasan (rawi mubham) pada perawi tingkat sahabat. Di sisi lain, hadis-hadis ini telah melewati keenam filter kesahihan hadis. Padahal, mayoritas ulama telah sepakat atas keadilan sahabat melalui dalil naqli maupun aqli. Hal ini berdampak pada keabsahan ketidakjelasan, keterputusan hadis dan semacamnya pada tingkat sahabat.
Ibnu Hajar al-Haitami, dalam Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubranya menyatakan cukup dengan dalil-dalil di atas sebagai legalitas puasa Rajab. Bahkan, ia menambahkan fadilah-fadilah puasa secara umum, seperti nafasnya orang berpuasa yang lebih wangi daripada misik, pahala puasa yang murni dinilai oleh Allah, puasa Daud dan sebagainya. Ibnu Hajar pun tidak mengelak atas palsunya hadis-hadis fadilah puasa Rajab yang berlebihan itu. Karena pada dasarnya, tanpa kehadiran hadis palsu tersebut telah cukup dalilnya.
Mengikut pada ucapan KH. Ma’ruf Khozin di laman Facebooknya, tuduhan bidah paling banyak dilontarkan pada ibadah-ibadah ghoiru mahdah, ibadah yang memiliki landasan secara umum, dan tidak bersifat final dari nabi Muhammad Saw. Maka dari itu, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama fikih terkait ibadah-ibadah ini.
Penulis berkonklusi bahwa seandainya tidak ada hadis-hadis terkait puasa pada bulan Rajab atau bulan haram pun, tidak menjadi masalah. Puasa itu sendiri merupakan ibadah sunnah, yang memiliki bentuk ghoiru mahdhahnya berupa puasa mutlak. Sehingga, sah-sah saja apabila seseorang berpuasa pada bulan Rajab, terlepas dari kemuliaan bulan itu sendiri.
Waktu dan tempat dapat mempengaruhi motivasi seseorang dengan drastis. Hal inilah yang menjadi fenomena di sebagian kalangan umat Muslim, ketika menghadapi bulan Rajab dan lainnya. Ahlussunnah wal Jamaah memperoleh solusi supaya fenomena ini tidak terbuang sia-sia dengan pembidahan serta larangan keras. Justru, hal inilah yang menjadi latihan serta motivasi “sejenak” bagi kaum Muslim yang perlu diberdayakan.
Ilustrator: Tazkiyah Naila Akmala
1 Comment
Fairuz
Good artikel 👍🏻