Jika hendak menelusuri jejak sejarah Palestina modern, kita dapat melihatnya melalui dua judul buku “Tārīkh Filisthīn al-Hadīts” oleh Dr. Abdul Wahab al-Kayālī dan “al-Ṣahyuniyyah ghair al-Yahūdiyyah wa Judzūruhā al-Tārīkhī fi al-Mujtama’ al-Gharbī” oleh Dr. Regina Sherief, dua penulis asli beretnis Arab Palestina.
Kedua buku ini merekonstruksi sejarah pertarungan bangsa Arab Palestina dengan ideologi Zionisme yang kemudian menjelma menjadi negara Israel pada 14 Mei 1948, yang diakui secara resmi oleh PBB. Perjuangan diplomasi yang beriringan dengan perang telah dilakukan, namun ‘kegagalan’ selalu menemani bangsa Palestina. Mengapa?
Pertama, sebagai bangsa, Palestina tidak mampu merumuskan ideologi nasionalismenya, apakah harus menyatu dengan nasionalisme Arab dalam skala besar (terikat dengan Liga Arab), nasionalisme dalam skala menengah (Palestina satu bangsa dengan Suriah), atau nasionalisme dalam skala sempit (bangsa Palestina secara mandiri, tidak terikat dengan bangsa lain). Kegagalan perumusan nasionalisme ini berakibat pada tidak jelasan teknis diplomasi dan pemaklumatan perang yang mengiringinya.
Kedua, Palestina, negara-negara Arab pendukung utamanya, dan negara-negara mayoritas Muslim terlalu percaya diri bahwa aksi militer untuk mengenyahkan negara Zionis Israel itu sangat mudah. Perang 1948, 1967, 1973, dan bentrok-bentrok militer kecil lainnya tidak mampu menggoyahkan kedigdayaan Israel. Mesir pada perang 6 Oktober 1973 mengklaim menang, padahal dua provinsi Sinai Utara dan Sinai Selatan di Mesir masih diduduki Israel. Itu adalah klaim kemenangan palsu.
Ketiga, Palestina terlalu idealis. Pada awal pembentukan PLO tahun 1964, mereka berideologi untuk mengenyahkan Israel dari peta negara dunia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Idealisme ini menjadi penghambat utama terjadinya perundingan damai Arab-Palestina, meskipun dalam dinamikanya Palestina ‘terpaksa’ mundur dari idealisme berlebihannya.
Perubahan sikap dari idealis menjadi sedikit realistis itulah yang menghasilkan Pemerintahan Otonomi Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat (West Bank) berdasarkan Perjanjian Oslo 1993. Kiranya akan lebih sukses andaikan perjanjian Oslo ini dijadikan titik awal bagi perundingan-perundingan berikutnya menuju Palestina merdeka.
Keempat, elite Palestina dan para pemimpin negara Arab lainnya mengabaikan penerapan kaidah: “Segala sesuatu yang tidak bisa dicapai semua, tidak boleh ditinggal semua.” Maksudnya, mereka bersikap tidak mau berunding dan membiarkan pendudukan serta kezaliman Israel terus berlangsung, atau melakukan aksi militer yang secara matematis tidak akan menang, bahkan tega mengorbankan rakyat sipil Palestina menjadi korban.
Kelima, masalah Palestina adalah pertarungan eksistensi kebangsaan yang sebetulnya tidak terkait langsung dengan Islam dan Yahudi sebagai agama. Pejuang kemerdekaan Palestina terdiri dari kaum Muslim, Kristen, Katolik, Komunis, bahkan kaum Yahudi yang anti-Zionisme.
Oleh karena itu, merespons persoalan Palestina dengan ayat: “Wa lan tarḍā ‘anka al-yahūd wa lā an-nasārā ḥattā tattabi’a millatahum…” (Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka…) tidaklah pada tempatnya. Demikian, semoga bisa menjadi wacana alternatif.
Wallahu A’lam.
Tulisan ini juga terbit di: https://bincangsyariah.com/khazanah/mengapa-bangsa-palestina-belum-bisa-menang-dari-israel-hingga-kini/