Dalam suatu riwayat, dikisahkan bahwa ketika Nabi Nuh a.s berjalan, ia mendapati seorang perempuan meratap di samping pusara anaknya. Perempuan itu menangisi putranya sebab ia meninggal dunia di usia yang muda. Nuh a.s pun bertanya tentang usia sang anak yang telah meninggal dunia itu. Perempuan itu menjawab, “300 tahun.”
Mendengar itu, Nabi Nuh a.s—dengan tujuan menghibur—bercerita bahwa usia umat di akhir zaman nanti hanyalah 60-70 tahun. Perempuan itu terhenyak, sebab baginya, usia 60-70 tahun kelewat singkat, “Apa yang akan kau lakukan dengan umur sesingkat itu? Jika aku menjadi salah satu dari mereka, aku akan menghabiskan seluruh hidupku dengan bersujud kepada Allah SWT.”
Kita akan sering dibuat terperangah ketika didengarkan kisah-kisah umat terdahulu dalam beribadah kepada Allah SWT. Dalam riwayat yang lain, Nabi Muhammad SAW pernah menceritakan tentang empat orang Bani Israil yang beribadah kepada Allah SWT sepanjang 80 tahun. Tanpa bermaksiat walau hanya sekejap. Kemudian Jibril a.s mengabarkan bahwa umat Nabi Muhammad SAW dimuliakan dengan satu malam, malam yang lebih mulia dari seribu bulan: Laylatu al-Qadar. (baca: Al-Durru al-Manṭūr, Imam Suyuthi).
Memasuki 10 hari terakhir bulan Ramadan, kita dapat dengan mudah menemukan orang membicarakan Laylatu al-Qadar. Dalam literatur Islam, banyak para ulama melakukan ‘ramalan’ tentang kapan tepatnya malam mulia ini terjadi. Upaya-upaya dalam menentukan Laylatu al-Qadar sangat banyak dan cukup menarik.
Sebagai contoh, ada yang mengatakan bahwa jumlah kata-kata dalam Surat Al-Qadr adalah 30 kata, sesuai dengan jumlah hari di bulan Ramadan. Dan kata “hiya” yang menunjuk pada Laylatu al-Qadar, dalam firman Allah SWT: “Salāmun hiya” merupakan kata ke-27. Maka dari itu, Laylatu al-Qadar jatuh pada malam ke-27.
Upaya lainnya adalah dengan menghitung jumlah huruf dari kata “Laylatu al-Qadar” yang terdiri dari 9 huruf, dan ‘Laylatu al-Qadar’ disebutkan dalam surat itu sebanyak 3 kali. Jika dikalikan, 3 x 9 = 27. Angka 27 ini diyakini menunjukkan tanggal kemunculan Laylatu al-Qadar. Adapun Syaikh Ahmad Zarruq, mengikuti Ibnu Arabi, berpendapat bahwa Laylatu al-Qadar tidak pernah lepas dari malam Jumat ganjil pada akhir bulan Ramadan.
Berbagai bentuk ramalan tentang jatuhnya malam Laylatu al-Qadar di berbagai literatur Islam, adalah bentuk keseriusan umat Muslim dalam memburu malam mulia ini. Ketika bulan Ramadan tiba, umat Muslim melakukan ritual ibadah puasa. Momen ini identik dengan meningkatnya aktivitas religius di tengah-tengah masyarakat: pemandangan manusia yang berbondong-bondong ke masjid, banyak lembaga berlomba-lomba mengadakan kajian spesial Ramadan, dan lantunan ayat-ayat suci Al-Quran, berkumandang dari berbagai penjuru.
Peningkatan aktivitas religius selama bulan suci Ramadan, diharapkan dapat menjadi momentum untuk meningkatkan spiritualitas dan moralitas kita. Namun realitas di sekeliling kita—dengan tidak menyenangkan—menunjukkan sebaliknya.
Puasa, yang dirumuskan sebagai ritual melatih diri dari nafsu dan hasrat duniawi, nyatanya tidak serta merta menurunkan—atau bahkan meningkatkan?—angka kriminalitas. Tak jarang kawan-kawan kita menyebar kabar tentang motor hilang di status media sosial ketika bulan suci Ramadan.
Di lain sisi, bulan Ramadan juga identik dengan intensitas jual-beli yang tinggi. Pasar tahu betul, umat Islam menabung sepanjang 11 bulan untuk merayakan kemenangan di bulan suci Ramadan. Ramadan, adalah waktu yang tepat bagi mereka untuk meluncurkan produk-produk terbaru. Banyak orang kemudian linglung. Menjelang akhir Ramadan, alih-alih merealisasikan diri sebagai manusia yang mampu menahan hawa nafsu dan hasrat duniawi, kita justru terjebak dalam lingkaran spiritual materialistis.
Realitas yang demikian itulah, yang dideskripsikan oleh Nabi Muhammad SAW, tentang orang-orang yang tak bersisa apa dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga.
رُبَّ صَاىِٔمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوْعُ وَالْعَطَش
“Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya kecuali lapar dan dahaga” (HR. Ahmad).
Di sepuluh terakhir bulan Ramadan, di tengah perburuan malam Laylatu al-Qadar yang misteri, kita tentu sama berharap, agar realisasi puasa sebagai bentuk pengendalian diri terhadap hasrat duniawi tidak terbatas pada bulan Ramadan. Dan ibadah puasa yang telah kita jalani, bukanlah puasa sebagai ritual formalistis belaka.
Ibnu Mas’ud, ketika ditanya tentang kapankah pastinya malam Laylatu al-Qadar itu? Ia menjawab, “Siapa pun yang mendirikan salat malam selama setahun penuh, maka ia pasti akan meraih Laylatu al-Qadar.” Ubay bin Ka’ab menjelaskan bahwa sesungguhnya Abdullah bin Mas’ud—rahimahullah—bermaksud agar orang-orang tidak bermalas-malasan dalam beribadah kepada Allah SWT. Wallahu a’lam.