Muharram menjadi bulan pembuka dalam perhitungan kalender Hijriah. Bulan ini termasuk kedalam salah satu dari bulan-bulan yang dimuliakan dalam Islam, atau biasa disebut dengan Asyhurul Hurum. Muharram memiliki kedudukan Istimewa dalam Islam, karenanya Muharram disebut sebagai bulan Allah. Penyebutan bulan Muharram sebagai bulan Allah menegaskan bahwa bulan ini memiliki kemuliaan yang luar biasa. Lalu bagaimana cara memuliakan dan mengambil pelajaran dari bulan Muharram? Serta bagaimana keindahan perpaduan antara keislaman dan budaya lokal di Indonesia terlihat dalam peringatan 1 Muharram?
Sebagai bulan yang penuh kemuliaan, Muharram menjadi peluang bagi umat Islam untuk meningkatkan kualitas ibadah. Salah satu cara utama untuk memuliakan bulan Muharam adalah dengan berpuasa, puasa Muharram adalah puasa paling utama setelah Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi: ‘Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah, Muharram, dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.’ (HR Muslim). Puasa ini dilakukan pada tanggal 9 (Tasu’a), 10 (Asyura), dan 11 Muharram. Hal ini dijelaskan dalam hadits Nabi:
عَنِ ابْنِ عَبَّاس رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا مَرْفُوعًا: صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ، صُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ (رواه أحمد)
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra dengan status marfu (Rasulullâh bersabda): ‘Puasalah kalian pada hari Asyura dan bedakan dengan kaum Yahudi, puasalah kalian sehari sebelum atau sesudahnya’.” (HR Ahmad no. 2418)
Selain berpuasa, banyak amalan lain yang dianjurkan selama bulan Muharram. Dalam kitab Kanzun Naja was-Surur fi Ad’iyyati Tasyrahus Shudur karya Syekh Abdul Hamid Quds, disebutkan berbagai amalan yang sebaiknya dilakukan pada bulan ini. Di antaranya adalah menyambung silaturahmi, bersedekah, mandi pada hari Asyura, memakai celak mata, berziarah kepada ulama (baik yang masih hidup maupun yang telah wafat), menjenguk orang sakit, menambah nafkah keluarga, memotong kuku, mengusap kepala anak yatim, dan membaca Surah Al-Ikhlas sebanyak 1.000 kali. Amalan-amalan ini memperkuat dimensi spiritual sekaligus sosial dalam kehidupan seorang Muslim.
Muharram menjadi saksi peristiwa penting dalam sejarah Islam. Diantaranya hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah yang menjadi awal penanggalan Hijriah dan simbol perjuangan serta komitmen terhadap nilai Islam. Selain itu, pada hari Asyura, Allah menyelamatkan Nabi Musa a.s. dan kaumnya dari Fir‘aun, mengajarkan pentingnya tawakal dan keyakinan akan pertolongan Allah.
Di Indonesia, bulan Muharram memiliki makna yang tidak hanya religius tetapi juga budaya. Peringatan 1 Muharram sering kali dipadukan dengan tradisi lokal, menciptakan perpaduan yang indah antara nilai-nilai keislaman dan budaya. Misalnya, di beberapa daerah di Indonesia, 1 Muharram dirayakan sebagai Tahun Baru Islam dengan kegiatan seperti pawai obor, doa bersama, dan pengajian akbar di masjid-masjid.
Tradisi budaya turut memeriahkan Muharram dengan cara yang sarat makna spiritual dan sosial. Di Jawa, tradisi Grebeg Suro atau biasa disebut Suroan tidak sekadar seremonial, tetapi menjadi momentum introspeksi diri dan rasa syukur kepada Allah. Kegiatannya meliputi sedekah bumi sebagai wujud syukur atas hasil panen, ziarah makam leluhur untuk mendoakan arwah, serta pertunjukan wayang kulit yang menyampaikan pesan moral dan spiritual. Di Aceh, masyarakat memasak kanji rumbi, bubur khas yang dibagikan kepada tetangga dan fakir miskin, mencerminkan nilai solidaritas dan kepedulian sosial. Sementara itu, di Sumatera Barat, masyarakat Minangkabau memperingati Muharram dengan wirid bersama, pembacaan doa selamat, dan kenduri adat yang menekankan nilai kebersamaan serta pelestarian warisan budaya Islam.
Pada akhirnya, Muharram tidak hanya menjadi bulan untuk meningkatkan ibadah dan mengingat sejarah, tetapi juga sebagai waktu yang tepat untuk merayakan keberagaman budaya yang selaras dengan ajaran Islam. Perpaduan antara nilai-nilai religius dan tradisi lokal yang berlangsung selama peringatan 1 Muharram mencerminkan wajah Islam yang damai, ramah, dan membumi. Momentum ini sepatutnya dimanfaatkan untuk memperkuat keimanan, memperbaiki diri, dan mempererat hubungan sosial. Melalui Muharram, kita diajak untuk berhijrah bukan sekadar berpindah tempat, melainkan berpindah dari keburukan menuju kebaikan, dari lalai menuju taat, dan dari individualisme menuju solidaritas sosial yang lebih kuat.