Fatima Mernissi adalah seorang intelektual dan feminis Muslim terkemuka yang dikenal karena kritiknya terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan dalam masyarakat Arab-Islam. Lahir pada tahun 1940 di Fez, Maroko, Mernissi tumbuh dalam keluarga kelas menengah yang dekat dengan gerakan nasionalis melawan kolonialisme Prancis. Masa kecilnya dihabiskan dalam lingkungan yang akrab dengan budaya harem, tempat perempuan dari keluarga kaya sering kali dikekang kebebasannya. Fenomena ini menjadi salah satu inspirasi awal Mernissi dalam mengkritisi status perempuan di dunia Arab.
Selama masa pendudukan Prancis, Mernissi adalah salah satu dari sedikit perempuan yang beruntung mendapatkan akses ke pendidikan. Berkat sekolah gratis yang tersedia, ia berhasil lulus dan melanjutkan pendidikannya di Universitas Muhammad V di Rabat, Maroko, dengan mengambil jurusan Sosiologi dan Ilmu Politik. Pada tahun 1965, ia meraih gelar sarjana dan kemudian melanjutkan studi pascasarjana di Paris, di mana ia mendapatkan gelar doktor. Setelah menyelesaikan studinya di Eropa, Mernissi kembali ke Maroko dan mengajar di Universitas Muhammad V. Selain itu, ia juga menjabat sebagai dosen di Institut Penelitian Ilmiah dan menjadi anggota beberapa organisasi internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sebagai akademisi, Mernissi menggunakan metodologi Barat untuk mengkritisi sejarah Islam dan tradisi Arab. Ia memanfaatkan pengetahuan ini untuk membongkar akar budaya patriarki dan menyoroti ketidakadilan yang dialami perempuan. Sepanjang kariernya, ia fokus pada hubungan antara agama, hukum, dan status perempuan, terutama dalam konteks masyarakat Islam. Karya-karyanya membuka diskusi penting tentang perlunya reformasi sosial dan agama untuk mencapai kesetaraan gender.
Suara Kritis Kesetaraan di Maroko
Fatima Mernissi tidak hanya seorang akademisi, tetapi juga seorang aktivis yang vokal dalam menyuarakan hak-hak perempuan. Dalam berbagai tulisannya, Mernissi secara konsisten mengkritik ketidakadilan yang dialami perempuan di Maroko dan dunia Islam pada umumnya. Ia menyoroti bagaimana budaya patriarki di Maroko telah menempatkan perempuan pada posisi inferior, bahkan memandang mereka sebagai ancaman bagi stabilitas sosial. Salah satu aspek yang sangat dikritisi Mernissi adalah bagaimana cinta terhadap perempuan digambarkan sebagai bentuk “penyakit mental”, sebuah stigma yang mencerminkan pandangan negatif terhadap perempuan. Menurutnya, hal ini tidak hanya merendahkan martabat perempuan, tetapi juga mengabaikan hakikat bahwa perempuan dan laki-laki diciptakan setara dalam ajaran Islam.
Salah satu isu utama yang diangkat Mernissi adalah kebijakan poligami di Maroko. Menurutnya, undang-undang yang mengatur poligami di Maroko memberikan kebebasan yang terlalu besar kepada laki-laki untuk menikah lebih dari satu kali, tanpa memperhatikan syarat-syarat yang ditetapkan dalam Alquran, yakni kewajiban untuk berlaku adil. Ia menegaskan bahwa syarat tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk membatasi praktik poligami, bukan untuk melegitimasi praktik tersebut. Namun, dalam realitas sosial, undang-undang ini lebih sering digunakan sebagai alat untuk melanggengkan dominasi laki-laki atas perempuan.
Lebih jauh, Mernissi juga mengkritik ketimpangan yang terjadi dalam hubungan suami-istri yang diatur oleh undang-undang keluarga Maroko tahun 1957. Meskipun undang-undang tersebut menetapkan hak dan kewajiban antara suami dan istri, praktiknya menunjukkan ketidakadilan yang nyata. Suami sering kali tidak memiliki kewajiban moral yang setara terhadap istrinya, sementara istri diharuskan tunduk sepenuhnya kepada suami. Kesetiaan suami terhadap istri tidak dianggap penting, sementara perempuan diharuskan patuh tanpa syarat. Menurut Mernissi, ini adalah bentuk penindasan yang didukung oleh norma sosial dan hukum.
Mernissi juga mengecam pembatasan ruang gerak perempuan di ruang publik. Di Maroko, perempuan sering kali dilarang memasuki ruang-ruang yang dianggap sebagai domain laki-laki, seperti tempat kerja tertentu atau forum diskusi. Jika perempuan melanggar batasan ini, mereka akan dicap sebagai perusak tatanan sosial dan dianggap mengundang laki-laki untuk melakukan perbuatan dosa. Bagi Mernissi, pembatasan ini merupakan manifestasi dari interpretasi agama yang kaku dan tidak relevan dengan perkembangan zaman modern.
Mernissi meyakini bahwa reformasi sosial dan hukum adalah langkah penting untuk mencapai kesetaraan gender di dunia Islam, khususnya di Maroko. Ia menekankan bahwa ajaran Islam yang sejati mendukung prinsip-prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, namun sayangnya banyak diabaikan oleh budaya patriarki yang mendominasi. Menurutnya, nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia, yang sebenarnya juga terkandung dalam ajaran Islam, harus diterapkan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil. Oleh karena itu, ia secara aktif terlibat dalam diskusi global dengan intelektual dari berbagai latar belakang untuk memperjuangkan perdamaian dan kesetaraan gender.
Walaupun reformasi hukum keluarga telah dilakukan pada tahun 1992, Mernissi merasa bahwa banyak aspek hukum dan budaya yang masih mendiskriminasi perempuan. Salah satu kritik utamanya adalah bahwa hukum keluarga di Maroko masih menempatkan perempuan di bawah otoritas laki-laki. Hal ini, menurutnya, bertentangan dengan semangat modernitas yang diklaim oleh Maroko sebagai negara yang progresif.
Pada akhirnya, Mernissi menekankan bahwa umat Muslim perlu membuka diri terhadap pemikiran baru dan menafsirkan ulang tradisi Islam agar lebih relevan dengan zaman modern. Ia percaya bahwa terlalu mengagungkan masa lalu menjadi salah satu penghambat utama kemajuan di dunia Muslim. Pemikiran-pemikiran Mernissi terus memberikan inspirasi bagi gerakan kesetaraan gender di dunia Muslim, khususnya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan di Maroko. Dengan karya dan dedikasinya, Mernissi telah membuka jalan bagi diskusi kritis tentang peran perempuan dalam Islam dan pentingnya reformasi sosial yang didasarkan pada prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan.