Selain sarung, kitab kuning merupakan ciri khas yang melekat pada pesantren salaf. Kitab kuning adalah sebutan untuk kumpulan kitab klasik dalam bahasa Arab yang ditulis oleh ulama terdahulu dan digunakan sebagai sumber pembelajaran utama. Kitab ini juga dikenal sebagai kitab turats, yang berarti warisan para ulama dan cendekiawan Islam terdahulu dalam bentuk kekayaan ilmiah. Kitab-kitab ini mencakup berbagai disiplin ilmu, seperti Fiqh, Hadits, Aqidah, Tasawuf, Tafsir, dan lainnya. Di pesantren, kitab-kitab ini diajarkan dengan penghayatan mendalam dan dijadikan rujukan utama bagi para santri.
Dalam sistem pendidikan pesantren, kitab kuning memegang peranan penting sebagai sarana pembelajaran dan pemahaman agama. Namun, di balik peran sentralnya, muncul fanatisme yang mengultuskan kitab ini sebagai satu-satunya sumber ajaran yang mutlak benar. Sebagai contoh, dalam kitab Fiqh al-Mu’tabar atau Bidayat al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, ada pembahasan tentang hukum perdagangan yang menggunakan akad tunai dan barang-barang fisik. Pada masa lalu, transaksi dilakukan dengan cara ini. Namun, di era sekarang, transaksi sering dilakukan secara daring dengan pembayaran elektronik, seperti kartu kredit atau e-wallet, serta menggunakan barang digital yang tidak berwujud fisik. Di beberapa pesantren yang terlalu terikat dengan ajaran kitab kuning, transaksi yang tidak melibatkan barang fisik atau yang tidak dilakukan secara tunai sering kali dihukumi tidak sah, karena kitab kuning tidak membahas transaksi modern. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana cara mengatasi tantangan ini?
Pengajaran kitab kuning di pesantren cenderung menekankan hafalan, cara baca, dan pemahaman teks. Meskipun pengajaran ini mendalam, pendekatan yang berlebihan pada hafalan dapat berujung pada sikap fanatik. Ajaran-ajaran dalam kitab kuning sering kali diterima tanpa adanya pertanyaan kritis. Sikap fanatik ini timbul dari keyakinan bahwa kitab kuning adalah sumber kebenaran mutlak yang tidak boleh dipertanyakan. Sikap ini dapat dikritik melalui pendekatan yang lebih menekankan pentingnya penggunaan nalar dalam memahami ajaran agama.
Muhammad Arkoun, dalam bukunya Rethinking Islam, menyatakan bahwa pengultusan terhadap ulama klasik dan karya-karya mereka, termasuk kitab kuning, membatasi ruang bagi umat Muslim modern, termasuk santri, untuk mengembangkan pemikiran kritis. Arkoun mengkritik bagaimana tradisi Islam klasik, termasuk otoritas kitab kuning, sering kali dijadikan standar kebenaran tanpa mempertimbangkan perubahan sosial dan perkembangan pemikiran modern. Santri modern sering dianggap tidak mampu menyaingi kealiman ulama klasik, sehingga inovasi dan pemikiran baru kerap diabaikan.
Sebagai contoh, dalam pengajaran kitab Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sabiq, praktik dan pemahaman yang diajarkan sering kali dianggap tidak bisa ditawar atau dibantah. Akibatnya, pemikiran santri cenderung menjadi sempit karena merasa terikat untuk mengikuti pendapat tertentu tanpa mempertimbangkan aspek lain yang relevan dengan konteks sosial dan perkembangan zaman.
Fanatisme terhadap ulama klasik ini juga berimplikasi pada penurunan kemampuan berpikir kritis dan inovatif di kalangan santri modern. Salah satu dampaknya terlihat pada respons kalangan pesantren terhadap pemikiran yang dianggap menyimpang dari ajaran kitab kuning. Pemikiran-pemikiran di luar cakupan ajaran kitab kuning sering dianggap salah dan berujung pada pengucilan individu atau kelompok yang berbeda pandangan. Hal ini jelas merugikan keragaman pemikiran dalam agama Islam.
Untuk menghadapi tantangan fanatisme yang muncul dari kultus kitab kuning, pesantren perlu mengembangkan pengajaran yang lebih inklusif. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mencapai hal ini. Pertama, pengajaran metodologi berpikir kritis perlu dikedepankan, mendorong santri untuk lebih aktif bertanya, berdiskusi, dan menganalisis, bukan sekadar menghafal. Misalnya, mengajarkan sejarah pemikiran Islam dapat membantu santri memahami konteks di balik kitab kuning. Kedua, pesantren perlu mengintegrasikan perspektif modern dalam kurikulum, seperti etika, hak asasi manusia, dan pluralisme, agar santri dapat memahami relevansi ajaran Islam dalam konteks global. Ketiga, mengadakan forum diskusi antaragama dan budaya dapat memperluas wawasan santri serta mengurangi sikap eksklusif yang sering muncul dari fanatisme.
Di tengah dinamika sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan, pesantren dihadapkan pada kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Beberapa pesantren modern sudah mulai melakukan reformasi kurikulum dengan menambahkan pelajaran umum, seperti sains, teknologi, dan ilmu sosial. Salah satu contohnya adalah Pondok Pesantren Modern Gontor, yang menggabungkan pengajaran kitab kuning dengan pendidikan umum dan keterampilan praktis. Melalui pendekatan ini, santri tidak hanya diajarkan untuk memahami teks-teks klasik, tetapi juga dilatih untuk berpikir kritis dan menganalisis permasalahan kontemporer.
Namun, keberhasilan pendekatan ini tetap perlu ditinjau ulang. Muncul fenomena bahwa sejumlah alumni pesantren yang telah mengadopsi kurikulum modern justru berkembang menjadi individu dengan ideologi radikal dan intoleran. Meskipun pesantren modern berupaya mengintegrasikan pengajaran tradisional dengan pendidikan umum, masih ada lulusan yang terpengaruh oleh pandangan ekstremis. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas pendekatan pendidikan pesantren dalam mencegah pemikiran radikal. Mungkin, faktor lain di luar kurikulum formal, seperti lingkungan sosial atau akses informasi yang tidak terkontrol, turut berperan dalam penyebaran ideologi ekstrem tersebut.
Kultus kitab kuning dalam tradisi pesantren adalah fenomena yang kompleks. Di satu sisi, penghormatan terhadap warisan ulama terdahulu memberikan fondasi yang kuat bagi pendidikan agama, tetapi di sisi lain, sikap fanatik yang muncul dapat menghambat perkembangan pemikiran kritis dan inklusi sosial.
Oleh karena itu, diperlukan integrasi antara pemikiran kritis dan pengetahuan kontemporer dalam pengajaran kitab kuning. Dengan pendekatan yang seimbang, pesantren dapat mencetak generasi santri yang tidak hanya memahami kitab kuning, tetapi juga siap menghadapi tantangan global secara konstruktif dan bijaksana. Memikirkan kembali peran kitab kuning dalam konteks yang lebih luas akan memastikan bahwa tradisi pesantren tetap relevan, menjadi ruang untuk dialog, inovasi, dan toleransi dalam menghadapi kompleksitas dunia modern.