Surabaya, 30 Juni 2025 — Dalam upaya memperkuat sistem pendidikan pesantren yang adaptif terhadap perkembangan zaman, Pondok Pesantren Kalijogo Puyut, Ponorogo, melakukan kunjungan studi tiru ke Pesantren Mahasiswa An-Nur Surabaya. Kegiatan ini merupakan bagian dari Shearing Season, sebuah forum berbagi gagasan, pengalaman, serta tantangan dalam mengelola pesantren berbasis mahasiswa.
Salah satu isu utama yang mencuat dalam diskusi adalah sistem penjaringan santri baru di Ponpes Kalijogo. Pihak pengasuh mengakui bahwa proses penerimaan masih belum stabil. “Kadang buka sehari, besoknya tutup lagi,” ujar salah satu pengurus, menggambarkan perlunya sistem rekrutmen yang lebih terencana dan konsisten.
Sebagai pembanding, Pesantren Mahasiswa An-Nur telah menerapkan sistem penerimaan yang lebih terukur. Saat ini, daya tampungnya mencapai 350 santri, dan diproyeksikan bertambah menjadi 400 setelah pembangunan gedung baru selesai. Gus Dr. Mirwan Taufiq, yang hadir sebagai narasumber menggantikan pengasuh Prof. K.H. Imam Ghazali Sa’id, M.A. yang sedang menjalankan ibadah haji, menjelaskan bahwa kapasitas kamar dibatasi agar proses belajar tetap kondusif. “Kalau satu kamar terlalu ramai, belajar jadi tidak fokus,” ujarnya.
Dalam kesempatan tersebut, Gus Mirwan juga menyampaikan pandangan progresif mengenai definisi santri di era modern. “Santri itu tidak harus mengaji terus. Ia bisa mengepakkan sayap ke dunia kedokteran, sains, atau bidang lainnya,” tegasnya. Menurutnya, pesantren hari ini seharusnya menjadi tempat pengembangan potensi, tidak hanya bagi mahasiswa, tetapi juga bagi kalangan pensiunan yang ingin kembali mendalami agama. “Sudah saatnya pesantren menjadi tempat bekerja atau rumah belajar bagi usia lanjut,” tambahnya.
Namun demikian, Gus Mirwan mengingatkan bahaya stagnasi intelektual apabila pesantren hanya terpaku pada pembelajaran klasik tanpa menyentuh konteks kekinian. “Kalau santri hanya belajar kitab klasik tanpa tahu isu kontemporer, mereka bisa merasa Islam tidak relevan, bahkan log out dari Islam,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya membuka ruang dialog dan belajar yang menggabungkan nilai tradisional dan kebutuhan zaman.
Kurikulum di Pesantren Mahasiswa An-Nur dirancang berbasis sistem tahunan dan jenjang, yang disesuaikan dengan jadwal akademik kampus para mahasantri. Uniknya, pengasuh tidak pernah mewajibkan para ustaz untuk mengajar kitab tertentu. “Abi hanya menawarkan: mau ngajari kitab apa?” ungkap Gus Mirwan, menekankan pentingnya kebebasan dan tanggung jawab intelektual bagi para pengajar.
Dalam diskusi juga dibahas beberapa kitab yang umum dikaji. Menurut Gus Mirwan, Qurrotul ‘Uyun masih tergolong dasar, sedangkan Zawaj Bila Nadam lebih mendalam dengan istilah-istilah modern, bahkan bersinggungan dengan dunia kedokteran.
Sebagai bagian dari sistem pembelajaran, An-Nur memiliki program “kajian gang modin” yang berfokus pada mutholaah kitab. Kajian ini berjalan aktif selama empat bulan dan diliburkan selama dua bulan, mengikuti kalender akademik kampus.
Metode belajar di An-Nur mengedepankan partisipasi aktif. Santri membaca teks, memberikan makna dalam bahasa Indonesia, kemudian ditunjuk untuk mengulangi dan menjawab pertanyaan. Namun, perbedaan latar belakang pesantren menjadi tantangan tersendiri. Solusinya, menurut pengurus, adalah menyelesaikan tugas sepenuhnya di kelas agar tidak membebani santri di luar waktu belajar.
Kesadaran kolektif juga menjadi perhatian dalam pengelolaan pesantren mahasiswa. “Lebih baik santri berkata jujur kalau sedang malas daripada menyepelekan tugas. Tidak semua bisa diselesaikan dengan hukuman,” ujar Gus Mirwan, menekankan pentingnya pendekatan humanis dalam membentuk kedisiplinan.
Menariknya, dalam forum tersebut juga terungkap bahwa konsep pesantren mahasiswa masih sangat terbatas di Indonesia. “Saat ini hanya ada dua, yaitu di Malang dan di An-Nur Surabaya ini,” tutup Gus Mirwan. Kegiatan studi tiru ini tidak hanya mempertemukan dua lembaga pesantren, tetapi juga menjadi ruang pertemuan dua pemikiran: antara tradisi dan modernitas, antara kitab dan kampus. Sebuah refleksi penting bagi masa depan pendidikan pesantren di Indonesia.