Zionisme berasal dari bahasa Ibrani, Zion, yang merupakan nama sebuah bukit di barat daya Yerusalem. Kaum Yahudi percaya bahwa Mesias (al-Masih) akan menuntun mereka menuju tanah yang dijanjikan. Tokoh besar Zionis antara lain Yehuda Al-Kalai (1798-1878 M) dari Sarajevo, penggagas pertama berdirinya negara Yahudi di tanah Palestina.
Nathan Birnbaum (1864-1937 M) dari Austria kemudian menjadikan gagasan tersebut sebagai gerakan Zionisme, yaitu gerakan kolektif kaum Yahudi untuk kembali ke Istana King David di bukit Zion sebagai pusat negara kaum Yahudi yang akan didirikan.
Pada 1826, Tzvi Hirsch Kalischer (1795-1874 M) menulis buku “Derishat Zion” yang berisi studi tentang kemungkinan berdirinya negara Yahudi di Palestina, sebagai bentuk dukungannya terhadap gagasan Al-Kalai. Di tahun yang sama, Moses Hess (1812-1875 M) dalam bukunya “Roma and Jerusalem” menyatakan bahwa migrasi kaum Yahudi ke Palestina merupakan solusi bagi masalah kaum Yahudi di Eropa yang saat itu menjadi korban gerakan anti-Semit.
Theodore Herzl (1860-1904 M), salah satu tokoh Zionisme terpopuler, dikenal sebagai ‘Bapak Zionisme’ karena kemampuannya membakar semangat dan menyatukan kaum Yahudi yang sebelumnya terpecah-pecah menjadi sebuah gerakan internasional. Herzl sangat yakin bahwa suatu saat kaum Yahudi akan memiliki negara sendiri, seperti yang tergambar dalam bukunya “Der Judenstaat” (Negara Yahudi) yang terbit pada 1896. Melalui Kongres Zionisme di Basel, Swiss pada 1897, Herzl menyampaikan gagasannya kepada lebih dari 200 tokoh Yahudi dari berbagai negara.
Leon Pinsker (1821-1891 M), tokoh Zionis pendahulu, lebih fokus pada persoalan kenegaraan bagi orang-orang Yahudi daripada asosiasi keagamaan seperti yang tertuang dalam Taurat. Tujuannya agar bangsa terpilih ini tidak menjadi minoritas dan bebas mengembangkan peribadatan serta kebudayaannya.
Dalam “Der Judenstaat”, Herzl menegaskan bahwa gerakan Zionisme merupakan gerakan yang berlandaskan politik identitas, bukan gerakan agama. Namun, dinamika politik mengarah pada penggunaan agama sebagai sarana untuk menguatkan politik identitas tersebut.
Pemahaman agama dan tujuan untuk menguatkan identitas saling mengisi dan menguatkan, seperti yang dibuktikan dengan semakin kuatnya dukungan para agamawan Yahudi terhadap Gerakan Zionisme, yang diekspresikan dalam Deklarasi Balfour.
Arthur James Balfour (1848-1930 M), Menteri Luar Negeri Inggris (1902-1905), merupakan pendukung kuat ideologi Zionisme dari kalangan non-Yahudi. Atas desakan kaum Zionis Yahudi, ia menulis perjanjian rahasia untuk mendukung kembalinya kaum Yahudi ke Palestina dengan syarat jika terjadi perang antara blok Inggris dan Turki Usmani, kaum Yahudi harus mendukung dana perang Inggris.
Ketika Perang Dunia I pecah dan tanda-tanda kekalahan Turki Usmani terlihat pada 1917, surat rahasia Balfour yang mendukung kembalinya kaum Yahudi ke Palestina disiarkan ke publik, yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Balfour.
Surat tersebut merujuk pada permintaan Chaim Weizmann (1949-1952 M), seorang Yahudi Inggris yang menginginkan sebuah ‘rumah’ untuk seluruh umat Yahudi. Perdana Menteri Inggris, David Lloyd George (1863-1945 M), harus memenuhinya sebagai konsekuensi perjanjian Balfour.
Meskipun sempat menawarkan wilayah Uganda di Afrika untuk ditempati umat Yahudi, tawaran ini ditolak oleh Weizmann yang menginginkan Palestina. Perjanjian Sykes-Picot yang membuat Palestina berpindah tangan dari Turki Usmani ke Inggris membuat Weizmann berani menolak tawaran tersebut.
Kabinet Inggris akhirnya menyatakan bahwa Zionisme adalah sarana untuk memperkuat imperialisme Inggris di negara-negara Timur Tengah. Jasa terbesar Weizmann bagi Inggris adalah penemuannya akan formula baru untuk persenjataan Inggris, yaitu aseton, suatu senyawa untuk menghasilkan cordite, bahan eksplosif yang diperlukan guna mendorong kecepatan gerak peluru. Tanpa cordite ini, kemungkinan Inggris akan kalah dalam Perang Dunia I.
Pada April 1917, Amerika Serikat mengumumkan perang melawan Jerman yang dipicu oleh serangan Jerman ke tujuh kapal dagang Amerika. Mendengar hal ini, Inggris khawatir Jerman akan berusaha mengambil simpati banyak pihak, termasuk kaum Yahudi Inggris. Hal ini menjadi alasan lain mengapa Inggris menuruti permintaan Chaim Weizmann, yaitu demi mencegah Jerman mendapatkan simpati dari orang-orang Yahudi.
Pada 31 Oktober 1917, Inggris melakukan rapat kabinet. Awalnya, tidak semua anggota kabinet setuju terhadap rencana Inggris mendukung Zionisme. Lord Curzon (1859-1925 M), mantan Gubernur Jenderal Inggris di India, mempertanyakan hal ini. Begitu pula Edwin Montagu (1879-1924 M), Menteri Negara urusan India yang beretnis Yahudi, meyakini bahwa Zionisme justru akan membangkitkan anti-Semitisme. Penolakan juga datang dari tokoh Yahudi non-Zionis lainnya, seperti Claude Joseph Goldsmid Montefiore (1858-1938 M), keturunan Moses Hess (1812-1875 M), pendiri Zionisme kaum buruh di Prancis.
Tulisan ini juga terbit di: https://bincangsyariah.com/khazanah/zionisme-versus-nasionalisme-palestina/