Setelah lama tersandera dalam sangkar otoriter Orde Baru, masyarakat Indonesia akhirnya dapat menghirup udara segar dan menikmati euforia kebebasan pasca era reformasi tahun 1998. Kebebasan mulai diproklamirkan, meliputi kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul. Hal ini dapat dilihat dari munculnya partai-partai yang ikut berkompetisi pada pemilu 1999 dengan jumlah 48 Parpol, diikuti dengan 24 Parpol pada pemilu 2004, 38 Parpol pada 2009, 12 Parpol pada 2014, 14 Parpol pada 2019, dan 18 Parpol pada 2024.
Layaknya sebuah kompetisi, Pemilu melahirkan pihak yang menang dan kalah. Tidak mengherankan jika pihak yang kalah bersikukuh tidak mau menerima kekalahan begitu saja dan menuding adanya kecurangan oleh pihak yang menang. Sejak kelahiran Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2003 di Indonesia, Mahkamah hadir memberikan jalan tengah dengan memeriksa perkara yang bersifat final and binding dalam proses Perkara Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) sesuai tugas pokok dan fungsi yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Sejak MK berdiri, lembaga ini telah menangani PHPU sebanyak lima kali. Terakhir, MK memutuskan PHPU yang diajukan oleh pasangan urut 01 dan 03 dengan hasil menolak permohonan yang diajukan oleh para pemohon secara keseluruhan. Pasca putusan tersebut dan peresmian pemenang Pilpres oleh KPU, banyak partai yang sebelumnya menjadi lawan dalam pemilu, seperti Nasdem-PKB pengusung 01, secara terang-terangan turut mendukung program/kebijakan calon pemerintah yang baru, sementara PKS masih bersikap ragu-ragu.
Berbeda dengan partai PDIP, pengusung 03, yang telah menyatakan sikap untuk siap berada di luar pemerintah (oposisi). Maka, sulit dibayangkan jika suatu saat PDIP ikut berkoalisi dan membiarkan negara tanpa oposisi. Mungkinkah negara akan baik-baik saja tanpa adanya oposisi?
Dalam negara demokrasi, kehadiran koalisi dan oposisi merupakan anugerah yang berfungsi sebagai penyeimbang dan penyamarataan antara lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, peran negara dalam menentukan produk pengaturan kebijakan (regelensdaad), tindakan pengurusan (bestuursdaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad), dan tindakan pengawasan (toezichthoundensdaad) dapat berjalan secara efektif dan transparan. Posisi oposisi biasanya ditentukan oleh ideologi serta visi misi partai. Jika visi misi pemerintah dinilai tidak sesuai dengan yang dianut partai, maka partai tersebut akan menjadi pihak yang menentang dan melawan pemerintah.
Dalam buku The Need for Enemies (Ferguson, dkk. 2012), disebutkan bahwa pemerintah yang berkuasa selalu membutuhkan sosok oposisi untuk keunggulan politik dan mempertahankan dukungan politiknya. Pemerintah akan mencari argumentasi terhadap segala program dan berusaha menyelesaikannya. Oleh karena itu, tujuan oposisi adalah untuk menyeimbangkan melalui pengawasan atas kinerja pemerintah yang didukung oleh partai koalisinya.
Adanya koalisi dan oposisi dalam suatu pemerintahan akan menciptakan check and balances. Jika koalisi pemerintah terlalu besar, peran pengawasan dan kontrol terhadap kebijakan pemerintah akan berkurang, yang berpotensi melahirkan pemerintahan yang absolut dan otoriter. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip demokrasi, seperti yang diungkapkan oleh Fernando Berriantos, guru besar Universitas Guanajuato, Mexico, “Without opposition there is no democracy”. Kekuasaan absolut yang disebabkan tidak adanya kontrol dan pengawasan akan melahirkan pemerintahan dengan kebijakan yang cenderung korup dan merugikan kepentingan publik, sebagaimana ungkapan terkenal Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.