Pesantren merupakan salah satu pilar pendidikan religius di Indonesia yang memiliki fokus utama pada pembelajaran ilmu agama Islam, meliputi Aqidah, Fiqih, dan Akhlaq. Meskipun telah mengalami perkembangan seiring berjalannya waktu, lembaga pendidikan ini tetap mempertahankan ciri khas berupa pengkajian literatur Islam klasik atau kitab kuning. Sebagai institusi yang berperan dalam penanaman nilai-nilai religius Islam, pesantren diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam membentuk moralitas peserta didiknya.
Namun, maraknya pemberitaan tentang perilaku immoral di lembaga pendidikan pesantren dalam beberapa tahun terakhir telah menimbulkan keresahan publik dan memunculkan pertanyaan kritis mengenai aspek-aspek yang mungkin terabaikan dalam sistem pendidikan pesantren. Kasus-kasus yang dilaporkan, terutama yang berkaitan dengan kekerasan seksual, telah mencoreng citra institusi yang seharusnya menjadi benteng nilai-nilai Islam.
“Rangkaian kejadian ini mengindikasikan adanya permasalahan serius dalam sistem pengawasan dan perlindungan di lingkungan pesantren, yang memerlukan evaluasi dan tindakan korektif segera.”
Beberapa kasus yang menjadi sorotan publik antara lain, kekerasan seksual di Pondok Pesantren HHA di Semarang dan Pondok Pesantren Karanganyar di Jawa Tengah. Tiga kasus kekerasan seksual di pesantren di Nusa Tenggara Barat (NTB), sebagaimana diungkapkan oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram. Di Pesantren Lumajang, terjadi kasus pemaksaan pernikahan terhadap santri perempuan di bawah usia 16 tahun oleh pengasuh pesantren. Dan tentu, kasus yang paling menghebohkan dan masih tersimpan baik dalam ingatan terjadi di Pesantren Bandung, di mana seorang guru melakukan kekerasan seksual terhadap tiga belas santri perempuan sejak tahun 2016 dan terungkap pada tahun 2021. Kasus ini, mengakibatkan kelahiran sembilan bayi. Rangkaian kejadian ini mengindikasikan adanya permasalahan serius dalam sistem pengawasan dan perlindungan di lingkungan pesantren, yang memerlukan evaluasi dan tindakan korektif segera.
Tipologi berulang dari maraknya kasus immoral di lembaga pendidikan pesantren—dengan menghindari analisis simplistis—adalah keawaman beragama dan miskonsepsi terhadap konsep ta’zhim (penghormatan) kepada guru. Tekanan psikologis yang dialami santri korban dan keengganan melaporkan kejadian kepada pihak berwajib akibat pemahaman yang keliru tentang ta’zhim, pun semakin memperburuk situasi.
Keluarga korban pun sering kali masih memandang guru pelanggar dengan hormat dan meragukan pengakuan anak mereka, meskipun perlakuan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai pesantren. Menghadapi permasalahan ini, penting untuk mengkaji ulang konsep ta’zhim yang dilakukan santri kepada guru, guna memastikan pemahaman dan penerapan yang tepat demi melindungi hak serta kesejahteraan santri.
Tinjauan Ulang Konsep Ta’zhim
Imam al-Ghazali dalam kitabnya Iḥyā’ ‘Ulūmu al-Dīn mendefinisikan ta’zhim sebagai penghormatan tinggi terhadap ilmu pengetahuan dan para penyampainya, yaitu guru. Menurut al-Ghazali, pelajar harus menunjukkan sikap hormat, taat, dan rendah hati di hadapan gurunya sebagai bentuk penghargaan terhadap ilmu yang diperoleh.
Terdapat batasan penting yang seringkali luput dari perhatian dalam penerapannya. Penghormatan tidak boleh mengandung unsur maksiat, dan tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan terhadap Allah.
Kitab Ta’līm al-Muta’allim karya Imam Burhān al-Islām al-Zarnūji, yang menjadi pedoman dasar kegiatan belajar-mengajar di pesantren, menjelaskan pada pasal keempat tentang memuliakan (ta’zhim) guru dan keluarganya. Teks tersebut menyebutkan beberapa bentuk penghormatan, seperti tidak berjalan di depan guru, tidak duduk di tempatnya, tidak memulai pembicaraan tanpa izin, tidak berbicara berlebihan di sampingnya, tidak bertanya saat guru lelah, serta menghormati waktu dan privasi guru.
Namun, terdapat batasan penting yang seringkali luput dari perhatian dalam penerapannya. Penghormatan tidak boleh mengandung unsur maksiat, dan tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal kemaksiatan terhadap Allah. Hal ini menjadi batasan jelas dalam bentuk penghormatan santri kepada gurunya.
Bahkan pada tataran kultur Sufi yang identik dengan pengkultusan guru spiritual, Imam Aḥmad al-Zarrūq dalam Qawā’id al-Taṣawwuf menyebutkan lima alasan untuk mengingkari wali Allah (guru spiritual), termasuk jika mereka melakukan kemudahan (rukhsah), tindakan tidak bermoral, meremehkan perintah agama, atau menunjukkan kekurangan. Prinsip ini berlaku lebih luas terhadap guru biasa.
Mengacu pada kasus-kasus pelecehan seksual di pesantren yang dilakukan oleh pengasuh, yang terjaga karen miskonsepsi ta’zhim dari korban, penting untuk ditegaskan bahwa terdapat batasan dalam memberikan penghormatan kepada guru, terutama ketika terjadi tindakan kriminal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan pesantren. Pemahaman secara utuh tentang ta’zhim harus disebarluaskan kepada masyarakat umum dan khususnya komunitas santri. Syekh ‘Abdul Qādir al-Jīlāni dalam Jalā’ al-Khāṭir menekankan bahwa melayani ulama (guru) harus disertai dengan ilmu yang mapan.
Alternatif Penyelesaian
Peran berbagai pemangku kepentingan sangat penting dalam mengatasi tindakan kejahatan di lingkungan pesantren. Institusi pendidikan khusus pesantren, seperti Kementerian Agama di tingkat kabupaten, provinsi, hingga nasional, perlu melakukan kerja sama dengan Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMI NU) yang memiliki program pengembangan pesantren dan pendidikan Islam.
Kolaborasi dengan organisasi non-pemerintah yang bergerak di sektor serupa juga diperlukan dalam mengawasi visi pembangunan pesantren. Hal ini termasuk penerapan uji kompetensi bagi calon pengasuh dan pengurus dalam membina peserta didik, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren. Tujuannya adalah mempertahankan posisi pesantren sebagai pusat kajian Islam dan etika di Indonesia, serta menciptakan lingkungan pesantren yang aman dan kondusif bagi seluruh elemen selama proses pendidikan berlangsung.
Sebagai pusat studi keagamaan yang menjadi representasi nilai-nilai Islam, pesantren harus mengintegrasikan ajarannya ke dalam regulasi di setiap yayasan pendidikannya. Dalam merancang aturan ini, diperlukan keterlibatan tidak hanya pihak internal pesantren, tetapi juga lembaga pemerintah dan organisasi non-pemerintah (NGO) yang fokus pada penanganan tindakan kriminal.
Beberapa lembaga yang perlu dilibatkan antara lain Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Komnas Perempuan, Komnas HAM, Fatayat Nahdlatul Ulama, dan ‘Aisyiyah Muhammadiyah. Sosialisasi dan kolaborasi dengan organisasi-organisasi tersebut merupakan langkah awal yang krusial dalam upaya mitigasi kekerasan seksual.
Selanjutnya, penting bagi pesantren untuk menjalin kerja sama dengan lembaga bantuan hukum, baik dari pemerintah maupun organisasi non-pemerintah, guna melakukan pendampingan hukum. Hal ini bertujuan untuk mencegah terulangnya kasus kriminalitas, terutama kekerasan seksual. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual menjadi landasan hukum yang menjamin perlindungan bagi para korban.
Perlu ditekankan bahwa tidak ada alasan untuk takut melaporkan kejadian kekerasan seksual, mengingat Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 Ayat (1) tentang persamaan kedudukan warga negara di hadapan hukum.
Pendekatan konseling behavioral dengan latihan asertif dapat digunakan sebagai metode untuk membantu individu belajar mengungkapkan perasaan secara terbuka dan langsung. Korban perlu diberikan pemahaman tentang prinsip-prinsip perilaku, termasuk bagaimana memenuhi kebutuhan dasar untuk mengekspresikan diri secara bebas dan terbuka. Pemberdayaan perempuan melalui peningkatan kemampuan bersikap tegas dengan pelatihan asertivitas merupakan upaya penting dalam mengurangi kejadian kekerasan seksual di lingkungan pendidikan pesantren.